Minggu, 28 Desember 2014

HAM DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI ASIA TENGGARA


Ide tentang hak asasi manusia (HAM) yang berlaku saat ini pada dasarnya merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II, yang selama perang tersebut, dipandang dari segi mana pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler yaitu ketiadaan perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia dipandang perlu untuk diperjuangkan dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. 
                                     
Kendati ide mutakhir hak asasi manusia (HAM) dibentuk semasa Perang Dunia II, namun pengertian baru tentang konsep tersebut yang cenderung meluaskan daftar istilah terkait, masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak dimana hal tersebut erat terkait dengan gagasan mengenai hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights) masih dominan mewarnai konsep HAM masa kini. Implikasinya, semua orang dimasa kini dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep tersebut. 
Di dalam ranah hak asasi manusia (HAM), dikenal istilah hak asasi manusia dasar (Basic Human Rights), yaitu hak asasi manusia yang umumnya dianggap amat perlu untuk memberikan keutamaan atau prioritas dalam hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak itu adalah hak yang memastikan kebutuhan primer, material dan non material dari manusia untuk bisa mengarahkannya menuju keberadaan (manusia) yang bermartabat. Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara umum tentang hak yang bersifat dasar ini, akan tetapi termasuk didalamnya adalah hak untuk hidup, hak atas makan, papan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama (termasuk kebebasan berkeyakinan).


A.          Konteks PBB
Secara histories konsep HAM muncul sepanjang abad ke-17 dan ke-18 di Inggris dan Perancis, dan mulai dideclarasikan secara universal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember tahun 1948 yang merupakan implikasi dari banyaknya tindak pembunuhan dan kerusuhan dahsyat selama Perang Dunia II.  
Terkait konsep HAM dalam konteks Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), pada dasarnya telah di muat dalam draf paling awal sejak organisasi ini dibentuk. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) telah memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut.[1]
Seiring banyaknya kesulitan yang ditimbulkan akibat pemberlakuan ketentuan piagam ini, dimana negara – negara yang tergabung dalam organisasi turut mencemaskan prospek kedaulatan mereka, yang dikemudian hari mengakibatkan banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak tersebut, maka diputuskanlah untuk memasukkan acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter).   
Sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia dibentuk oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) bentukan PBB. Dalam piagam ini, "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil" ditegaskan kembali. Para penandatangan mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama." 
                  Dua puluh satu pasal pertama dalam Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik yang mendominasi  deklarasi tersebut meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Pasal 22 sampai 27  mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial yang merupakan suatu standar bagi kehidupan yang layak -- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.
HAM sebagaimana yang dipahami dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad ke -20 seperti Delarasi universal, mempunyai sejumlah ciri yang menonjol. Pertama, dimaksudkan agar kita dan atau seluruh umat manusia diseluruh negara tidak kehilangan gagasan yang telah tegas menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak. Walaupun makna istilah ini tidak begitu jelas, namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak tersebut dianggap bersifat universal, dalam artian dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk di persoalkan apakah seseorang memiliki dan atau tidak memiliki hak asasi manusia, selain itu hal inipun menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku dimasa sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang terkait.
Kebebasan beragama yang dalam hal ini termasuk dalam pasal 18 deklarasi universal,[2] mengimplikasikan bahwa setiap manusia dimuka bumi ini tanpa terkecuali, bebas menentukan dan atau menyatakan agama atau kepercayaan mereka berdasarkan hati nuraninya masing-masing, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara individu.
 Kebebasan beragama selain tercantum didalam DUHAM, tercantum pula didalam dokumen-dokumen histories tentang HAM, khususnya dalam Right of Man france (1789), Bill of Rights USA (1791) dan Internasional Bill of Rights (1966).[3] Pasal 2 DUHAM menyatakan Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi tersebut, tanpa perkecualian apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.[4]
Dalam ranah ini, inti normatife dari kebebasan beragama atau berkeyakinan terbagi dalam delapan analisir, yakni; (i) kebebasan internal,  yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berfikir berkesadaran dan beragama, termasuk memeluk, menerima, memelihara atau mengubah agama atau kepercayaannya; (ii) kebebasan eksternal, yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan,  baik individual maupun kelompok dalam komunitas, dalam ranah pribadi ataupun publik, untuk mewujudkan agama dan kepercayaannya dalam pengajaran ataupun praktik ibadah; (iii) tanpa paksaan,  yaitu bahwa tak seorang pun dapat dipaksa, yang dapat merusak atau melemahkan kebebasannya untuk memeluk atau menerima agama atu kepercayaan yang menjadi pilihannya; (iv) tidak diskriminatif,  yaitu bahwa negara berkewajiban untuk melindungi dan memastikan semua individu dalam wilayah kewenangannya hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa membedakan ras, warna kulit jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, secara nasional atau diwilayah asal, kepemilikan atau status lainnya; (v) hak orang tua atau wali; yaitu bahwa negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua atau wali yang absah untuk menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan sendiri, dan memberikan perlindungan atas hak setiap anak atas kebebasan beragama atau berkeyakiann searah dengan perubahan kemampuan pada diri sang anak; (vi) kebebasan lembaga  atau status hukum, yaitu baha satu segi yang teramat penting dari kebebasan beragama atau berkeyakiann adalah kebebasan bagi komunitas keagamaan untuk memiliki kedudukan hak kelembagaan guna mengaktualisasikan hak-hak dan kepentingan mereka sebagai komunitas; (vii) batas dari pembatasan yang diperbolehkan atas kebebasan eksternal, yaitu bahwa kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau keyakinan seseorang bisa dilakukan hanya pada pembatasan yang dirumuskan oleh undang-undang dan yang perlu bagi perlindungan atas kemanan, ketertiban, kesehatan atau moral public; dan (viii) sifat yang tak dapat ditangguhkan, dalam hal ini, negara sama sekali tidak diperbolehkan menagguhkan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan pada masa darurat publik sekalipun.[5]


B.           ASEAN
Perhatian ASEAN terhadap isu HAM pada dasarnya telah berlangsung cukup lama. Munculnya berbagai isu baru era pasca Perang Dingin, dimana masalah HAM menjadi salah satu permasalan yang sangat vital,  menjadi pijakan awal ASEAN mengeluarkan Join communiqué of the 26th ASEAN Ministerial Meeteng,[6] dalam merespon isu ini.
Walaupun Pada dasarnya konsep HAM dalam konteks ASEAN sejalan dengan apa yang tercantum dalam DUHAM dimana hak individu menjadi proiritas utama, namun perbedaan dan atau beragamnya sejarah bangsa, budaya serta orientasi politik diantara negara anggota ASEAN, yang dalam perkembangannya mengalami perluasan yaitu dari 6 negara menjadi 10 negara[7] mengakibatkan perbedaan persepsi yang berujung pada sulitnya membuat konsensus bersama terkait konsep HAM di kawasan ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan  Carolina Hernandez “Perbedaan nilai dan faktor relativisme budaya menjadikan perbedaan persepsi tentang HAM diantara negara – negara anggota ASEAN kian tajam”.[8] Implikasinya, beberapa negara dikawasan ini menerapkan konsep HAM  yang bersifat tidak sepenuhnya relative, dalam artian, nilai-nilai ASIA[9] yang idealnya digunakan untuk lebih mempererat persaudaraan dikalangan masyarakat negara anggota,  seringkali dijadikan strategi untuk melestarikan berbagai ketidakadilan, dimana kekuasan tak jarang dijadikan sebagai alatnya. Dari segi ini, Hak Asasi sebagaimana di tetapkan dalam Universal Declaration of Human Rights dipandang hanya sebagai suatu produk yang berasal dari dunia Barat dan didukung oleh suatu kelas sosial tertentu.
Kecenderungan persepsi bahwa HAM dalam konteks ASIA khususnya Asia Tenggara lebih dipandang sebagai hegemoni dan dominasi budaya Barat, pada kahirnya menempatkan HAM pada katagori das sollen dan bukan das sein. Apa yang dirumuskan dalam Declaration of Human Rigts pertama-tama patutlah dipandang sebagai cita-cita ideal yang wajib di penuhi dan dijalankan oleh masyarakat yang beradab dan bukanlah kenyataan empiris yang sudah ada dan dapat diamati dalam kehidupan setiap hari.
Fakta bahwa protret HAM dikawasan ini masih kurang menggembirakan, dimana sejumlah pelanggaran HAM berkatagori berat masih berlaku di beberapa negara anggota, dan menjadi permasalahan yang selalu “dihindari” oleh para pemimpin ASEAN karena sensitifitasnya yang tinggi, mengakibatkan organisasi ini tidak memiliki mekanisme HAM secara regional.
Sejarah mencatat, kawasan ASIA khususnya Asia Tenggara, merupakan satu satunya kawasan didunia yang tidak memiliki system atau mekanisme HAM secara regional.[10] Karenanya, tuntutan akan pembentukan badan HAM ASEAN yang dipandang semua pihak sangat penting untuk segera memperbaiki kondisi HAM di kawasan ini dan lebih khusus lagi harapan sejumlah pihak untuk segera terselesaikannya permasalahan HAM di beberapa negara anggota ASEAN, terutama Myanmar, kian gencar disuarakan masyarakat internasional.
Perkembangan trakhir berkenaan dengan isu HAM dalam tubuh ASEAN adalah disepakatinya draf ASEAN Charter  pada KTT ASEAN ke-11 di kuala Lumpur Malaysia Desember 2005 yang dalam masa selanjutnya menjadi kerangka hukum dan institusional ASEAN. Draf ini menyatakan akan mendorong "Demokrasi, hak asasi manusia dan kewajiban terhadap hal itu, transparansi, tata pemerintahan yang baik dan memperkuat lembaga-lembaga demokratis” dikawasan Asia Tenggara.[11]
Prinsip non-intervensi[12] yang selama ini menjadi icon utama dan seolah menjadi momok yang menyebabkan terhambatnya proses demokratisasi di Asia Tenggara mulai  diterapkan secara lebih fleksibel pada pasca disepakatinya ASEAN Charter tersebut. Keterbukaan bagi keterlibatan yang lebih besar dan kooperatif melalui mekanisme yang disepakati bersama terhadap isu-isu domokratik dengan implikasi regional yang jelas dan yang menyangkut isu kemanusiaan seperti pelanggaran HAM berat dan krisis kemanusiaan, mulai dijadikan sebagai langkah awal terbentuknya komisi HAM ASEAN yang kemudian disahkan pada akhir tahun 2008[13] guna meningkatkan keamanan dikawasan Asia Tenggara.




[1]Untuk sebuah tinjauan sejarah tentang Universal Declaration of Human Rights dan sebuah garis besar tentang isu-isu pokok yang diperdebatkan sebelum pemberlakuannya, lihat Louis B. Sohn, "A Short History of the United Nations Documents on Human Rights," di dalam Commission to Study the Organization of Peace, The United Nations and Human Rights: Eighteenth Report of the Commission (Dobbs Fery, New York: Transnational Publishers, 1968), h. 43-56, dicetak ulang dalam Louis B.Sohn dan Thomas Beurgenthal, ed. Internasional protection of human rights (Indianapolis: bobs Merril, 1973), 505. simak juga John P. Humphrey, human Rights and the United Nation: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnasional Publishers, 1984).
[2]Deklarasi universal Hak Asasi Manusia. Diakses pada 14 Mei 2009. Dari http://www kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf
[3]Billah, Agama Dan Kekerasan Atas Nama Agama: Pemecahan  Masalah Ancaman terhadap Kebebasan Beragama. Penamas, volume XIX nomor 3-Th.2006. Jakarta:  2006. h.3
[4]Ibid., h.4
[5]Ibid., h.4 dan 22-23
[6] Dalam komunike bersama ini dinyatakan bahwa ASEAN akan mempertimbangkan pembentukan mekanisme regional yang sesuai dengan hak asasi manusia. Moment ini berlangsung pada 23-24 juli 1993. Anak Agung Banyu Perwita. Myanmar, ASEAN dan Negara-negara Ekstra Regional. Analisis CSIS, vol. 35, no.2, Juni 2006. h.155
[7]Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapure, Filipine dan Brunei Darusalam, merupakan negara inti, sementara Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam - CLMV merupakan anggota baru dalam organisasi tersebut.
[8]Anak Agung Banyu Perwita, Myanmar, ASEAN dan Negara-negara ekstra regional. h.156
[9]Ketertiban dan disiplin, hornat kepada pihak yang lebih tua, tanggung jawab terhadap keluarga, kerja keras, kolektifisne, dan kesederhanaan (modesty), menjadi beberapa contoh dari nilai-nilai ini yang sering kali ditonjol-tonjolkan dan dianggap bahkan lebih unggul dari nilai-nilai Barat, seperti orientasi kepada kesenangan diri, individualisme, sikap tak acuh terhadap otoritas, dan sikap kaku dank eras terhadap mental. Rodha E. Howard, HAM:  Penjelajahan Dalih relativisme Budaya. Jakarta: PT. Raja Grafiti, 2000. h xv-xvi
[10]Myanmar, ASEAN dan Negara-negara Ekstra Regional
[11]Ibid,. h.156
[12]Prinsip ini menegaskan bahwa negara anggota ASEAN tidak memiliki wewenang untuk mencampuri setiap permasalahan negara anggota lainnya. Setiap perkara domestik yang muncul dalam suatu negara anggota hanya menjadi urusan dalam negri terkait.
[13]Terdapat tiga pilar utama yang dicantumkan dalam piagam ASEAN ini yaitu (i) politik dan keamanan, (ii) ekonomi, dan (iii) social budaya. Penghormatan dan  penegakan  atas HAM di ASEAN masuk pada pilarnya yang ke- iii. Kompas, 24 Desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar