Ide tentang hak asasi manusia (HAM) yang berlaku saat
ini pada dasarnya merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II,
yang selama perang tersebut, dipandang dari segi mana pun akan terlihat bahwa
satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler yaitu ketiadaan perhatian
terhadap kehidupan dan kebebasan manusia dipandang perlu untuk diperjuangkan
dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar.
Kendati ide mutakhir hak asasi manusia (HAM) dibentuk
semasa Perang Dunia II, namun pengertian baru tentang konsep tersebut yang
cenderung meluaskan daftar istilah terkait, masih tetap menggunakan sejumlah
gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Gagasan bahwa
hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya
perlakuan yang layak dimana hal tersebut erat terkait dengan gagasan mengenai
hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan
Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak
Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di
Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of
Rights) masih dominan mewarnai konsep HAM masa kini. Implikasinya, semua
orang dimasa kini dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada
saat ini hanya merupakan pengembangan konsep tersebut.
Di dalam ranah hak asasi manusia (HAM), dikenal istilah
hak asasi manusia dasar (Basic Human Rights), yaitu hak asasi manusia
yang umumnya dianggap amat perlu untuk memberikan keutamaan atau prioritas
dalam hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Hak-hak itu adalah hak yang memastikan kebutuhan primer, material dan non
material dari manusia untuk bisa mengarahkannya menuju keberadaan (manusia)
yang bermartabat. Meskipun tidak ada daftar hak yang diterima secara umum
tentang hak yang bersifat dasar ini, akan tetapi termasuk didalamnya adalah hak
untuk hidup, hak atas makan, papan, pelayanan medis, kebebasan dari
penyiksaan, dan kebebasan beragama (termasuk kebebasan berkeyakinan).
A.
Konteks PBB
Secara histories konsep HAM muncul sepanjang abad ke-17 dan ke-18 di
Inggris dan Perancis, dan mulai dideclarasikan secara universal oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember tahun 1948 yang merupakan
implikasi dari banyaknya tindak pembunuhan dan kerusuhan dahsyat selama Perang
Dunia II.
Terkait konsep HAM dalam konteks
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), pada dasarnya telah di muat dalam draf
paling awal sejak organisasi ini dibentuk. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan
1943) telah memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh
negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut.[1]
Seiring banyaknya kesulitan yang
ditimbulkan akibat pemberlakuan ketentuan piagam ini, dimana negara – negara
yang tergabung dalam organisasi turut mencemaskan prospek kedaulatan mereka,
yang dikemudian hari mengakibatkan banyak negara bersedia untuk
"mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia
"melindungi" hak tersebut, maka diputuskanlah untuk memasukkan acuan
tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter).
Sebuah pernyataan internasional tentang
hak asasi manusia dibentuk oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on
Human Rights) bentukan PBB. Dalam piagam ini, "keyakinan akan hak
asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara
kecil" ditegaskan kembali. Para penandatangan mengikrarkan diri untuk
"melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi
ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh
manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."
Dua puluh satu pasal pertama dalam Deklarasi tersebut menampilkan
hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights)
yang termaktub di dalam Konstitusi
Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak
sipil dan politik yang mendominasi
deklarasi tersebut meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak
pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas
pribadi, serta partisipasi politik. Pasal 22 sampai 27 mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan
sosial seperti jaminan sosial yang merupakan suatu standar bagi kehidupan yang
layak -- dan pendidikan. Hak-hak
ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas
pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.
HAM
sebagaimana yang dipahami dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul
pada abad ke -20 seperti Delarasi universal, mempunyai sejumlah ciri yang
menonjol. Pertama, dimaksudkan agar kita dan atau seluruh umat manusia
diseluruh negara tidak kehilangan gagasan yang telah tegas menyebutkan bahwa
hak asasi manusia adalah hak. Walaupun makna istilah ini tidak begitu jelas,
namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti
dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua,
hak-hak tersebut dianggap bersifat universal, dalam artian dimiliki
oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan
secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama,
kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk di persoalkan apakah
seseorang memiliki dan atau tidak memiliki hak asasi manusia, selain itu hal
inipun menyiratkan bahwa hak-hak
tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak
asasi manusia yang berlaku dimasa sekarang adalah bahwa itu merupakan hak
internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek
perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga,
hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak
bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem
hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak
yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis
sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan
hukumnya.
Keempat,
hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski
tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia
cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di
dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk
membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak
yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas;
bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya
bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh
Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima
facie rights.
Kelima,
hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan
dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan
terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan
untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut
mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah
positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang terkait.
Kebebasan
beragama yang dalam hal ini termasuk dalam pasal 18 deklarasi universal,[2] mengimplikasikan bahwa setiap manusia
dimuka bumi ini tanpa terkecuali, bebas menentukan dan atau menyatakan agama
atau kepercayaan mereka berdasarkan hati nuraninya masing-masing, beribadat dan
mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum
maupun secara individu.
Kebebasan beragama selain tercantum didalam
DUHAM, tercantum pula didalam dokumen-dokumen histories tentang HAM, khususnya
dalam Right of Man france (1789), Bill of Rights USA (1791)
dan Internasional Bill of Rights (1966).[3] Pasal 2 DUHAM menyatakan Setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi
tersebut, tanpa perkecualian apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.[4]
Dalam
ranah ini, inti normatife dari kebebasan beragama atau berkeyakinan terbagi
dalam delapan analisir, yakni; (i) kebebasan internal, yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas
kebebasan berfikir berkesadaran dan beragama, termasuk memeluk, menerima,
memelihara atau mengubah agama atau kepercayaannya; (ii) kebebasan eksternal,
yaitu bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan, baik individual maupun kelompok dalam
komunitas, dalam ranah pribadi ataupun publik, untuk mewujudkan agama dan
kepercayaannya dalam pengajaran ataupun praktik ibadah; (iii) tanpa paksaan,
yaitu bahwa tak seorang pun dapat
dipaksa, yang dapat merusak atau melemahkan kebebasannya untuk memeluk atau
menerima agama atu kepercayaan yang menjadi pilihannya; (iv) tidak
diskriminatif, yaitu bahwa negara
berkewajiban untuk melindungi dan memastikan semua individu dalam wilayah
kewenangannya hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa membedakan
ras, warna kulit jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau
pendapat lain, secara nasional atau diwilayah asal, kepemilikan atau status
lainnya; (v) hak orang tua atau wali; yaitu bahwa negara berkewajiban
menghormati kebebasan orang tua atau wali yang absah untuk menjamin pendidikan
agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan sendiri, dan
memberikan perlindungan atas hak setiap anak atas kebebasan beragama atau
berkeyakiann searah dengan perubahan kemampuan pada diri sang anak; (vi) kebebasan
lembaga atau status hukum, yaitu
baha satu segi yang teramat penting dari kebebasan beragama atau berkeyakiann
adalah kebebasan bagi komunitas keagamaan untuk memiliki kedudukan hak
kelembagaan guna mengaktualisasikan hak-hak dan kepentingan mereka sebagai
komunitas; (vii) batas dari pembatasan yang diperbolehkan atas kebebasan
eksternal, yaitu bahwa kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau
keyakinan seseorang bisa dilakukan hanya pada pembatasan yang dirumuskan oleh
undang-undang dan yang perlu bagi perlindungan atas kemanan, ketertiban,
kesehatan atau moral public; dan (viii) sifat yang tak dapat ditangguhkan,
dalam hal ini, negara sama sekali tidak diperbolehkan menagguhkan hak atas
kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan pada masa darurat publik
sekalipun.[5]
B.
ASEAN
Perhatian ASEAN terhadap isu HAM pada dasarnya telah
berlangsung cukup lama. Munculnya berbagai isu baru era pasca Perang Dingin,
dimana masalah HAM menjadi salah satu permasalan yang sangat vital, menjadi pijakan awal ASEAN mengeluarkan Join
communiqué of the 26th ASEAN Ministerial Meeteng,[6] dalam
merespon isu ini.
Walaupun Pada dasarnya konsep HAM dalam konteks ASEAN
sejalan dengan apa yang tercantum dalam DUHAM dimana hak individu menjadi
proiritas utama, namun perbedaan dan atau beragamnya sejarah bangsa, budaya
serta orientasi politik diantara negara anggota ASEAN, yang dalam
perkembangannya mengalami perluasan yaitu dari 6 negara menjadi 10 negara[7]
mengakibatkan perbedaan persepsi yang berujung pada sulitnya membuat konsensus
bersama terkait konsep HAM di kawasan ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan Carolina Hernandez “Perbedaan nilai dan
faktor relativisme budaya menjadikan perbedaan persepsi tentang HAM diantara
negara – negara anggota ASEAN kian tajam”.[8]
Implikasinya, beberapa negara dikawasan ini menerapkan konsep HAM yang bersifat tidak sepenuhnya relative,
dalam artian, nilai-nilai ASIA[9] yang
idealnya digunakan untuk lebih mempererat persaudaraan dikalangan masyarakat
negara anggota, seringkali dijadikan
strategi untuk melestarikan berbagai ketidakadilan, dimana kekuasan tak jarang
dijadikan sebagai alatnya. Dari segi ini, Hak Asasi sebagaimana di tetapkan
dalam Universal Declaration of Human Rights dipandang hanya sebagai
suatu produk yang berasal dari dunia Barat dan didukung oleh suatu kelas sosial
tertentu.
Kecenderungan persepsi bahwa HAM dalam konteks ASIA
khususnya Asia Tenggara lebih dipandang sebagai hegemoni dan dominasi budaya
Barat, pada kahirnya menempatkan HAM pada katagori das sollen dan bukan das
sein. Apa yang dirumuskan dalam Declaration of Human Rigts pertama-tama
patutlah dipandang sebagai cita-cita ideal yang wajib di penuhi dan dijalankan
oleh masyarakat yang beradab dan bukanlah kenyataan empiris yang sudah ada dan
dapat diamati dalam kehidupan setiap hari.
Fakta bahwa protret HAM dikawasan ini masih kurang
menggembirakan, dimana sejumlah pelanggaran HAM berkatagori berat masih berlaku
di beberapa negara anggota, dan menjadi permasalahan yang selalu “dihindari”
oleh para pemimpin ASEAN karena sensitifitasnya yang tinggi, mengakibatkan
organisasi ini tidak memiliki mekanisme HAM secara regional.
Sejarah mencatat, kawasan ASIA khususnya Asia Tenggara,
merupakan satu satunya kawasan didunia yang tidak memiliki system atau
mekanisme HAM secara regional.[10]
Karenanya, tuntutan akan pembentukan badan HAM ASEAN yang dipandang semua pihak
sangat penting untuk segera memperbaiki kondisi HAM di kawasan ini dan lebih
khusus lagi harapan sejumlah pihak untuk segera terselesaikannya permasalahan
HAM di beberapa negara anggota ASEAN, terutama Myanmar, kian gencar disuarakan
masyarakat internasional.
Perkembangan trakhir berkenaan dengan isu HAM dalam
tubuh ASEAN adalah disepakatinya draf ASEAN Charter pada KTT ASEAN ke-11 di kuala Lumpur Malaysia
Desember 2005 yang dalam masa selanjutnya menjadi kerangka hukum dan
institusional ASEAN. Draf ini menyatakan akan mendorong "Demokrasi, hak
asasi manusia dan kewajiban terhadap hal itu, transparansi, tata pemerintahan
yang baik dan memperkuat lembaga-lembaga demokratis” dikawasan Asia Tenggara.[11]
Prinsip non-intervensi[12] yang
selama ini menjadi icon utama dan seolah menjadi momok yang menyebabkan
terhambatnya proses demokratisasi di Asia Tenggara mulai diterapkan secara lebih fleksibel pada pasca
disepakatinya ASEAN Charter tersebut. Keterbukaan bagi keterlibatan yang lebih
besar dan kooperatif melalui mekanisme yang disepakati bersama terhadap isu-isu
domokratik dengan implikasi regional yang jelas dan yang menyangkut isu
kemanusiaan seperti pelanggaran HAM berat dan krisis kemanusiaan, mulai
dijadikan sebagai langkah awal terbentuknya komisi HAM ASEAN yang kemudian
disahkan pada akhir tahun 2008[13] guna
meningkatkan keamanan dikawasan Asia Tenggara.
[1]Untuk sebuah tinjauan sejarah tentang Universal
Declaration of Human Rights dan sebuah garis besar tentang isu-isu pokok yang
diperdebatkan sebelum pemberlakuannya, lihat Louis B. Sohn, "A Short
History of the United Nations Documents on Human Rights," di dalam
Commission to Study the Organization of Peace, The United Nations and Human
Rights: Eighteenth Report of the Commission (Dobbs Fery, New York:
Transnational Publishers, 1968), h. 43-56, dicetak ulang dalam Louis B.Sohn dan
Thomas Beurgenthal, ed. Internasional protection of human rights (Indianapolis:
bobs Merril, 1973), 505. simak juga John P. Humphrey, human Rights and the
United Nation: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnasional
Publishers, 1984).
[2]Deklarasi universal Hak Asasi Manusia.
Diakses pada 14 Mei 2009. Dari http://www kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf
[3]Billah, Agama Dan Kekerasan Atas Nama
Agama: Pemecahan Masalah Ancaman
terhadap Kebebasan Beragama. Penamas, volume XIX
nomor 3-Th.2006. Jakarta: 2006. h.3
[4]Ibid., h.4
[5]Ibid., h.4 dan 22-23
[6] Dalam komunike bersama ini dinyatakan bahwa ASEAN akan
mempertimbangkan pembentukan mekanisme regional yang sesuai dengan hak asasi
manusia. Moment ini berlangsung pada 23-24 juli 1993. Anak Agung Banyu Perwita.
Myanmar, ASEAN dan Negara-negara Ekstra Regional. Analisis CSIS, vol. 35,
no.2, Juni 2006. h.155
[7]Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapure, Filipine dan Brunei
Darusalam, merupakan negara inti, sementara Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam
- CLMV merupakan anggota baru dalam organisasi tersebut.
[8]Anak Agung Banyu Perwita, Myanmar,
ASEAN dan Negara-negara ekstra regional. h.156
[9]Ketertiban dan disiplin, hornat kepada
pihak yang lebih tua, tanggung jawab terhadap keluarga, kerja keras,
kolektifisne, dan kesederhanaan (modesty), menjadi beberapa contoh dari
nilai-nilai ini yang sering kali ditonjol-tonjolkan dan dianggap bahkan lebih
unggul dari nilai-nilai Barat, seperti orientasi kepada kesenangan diri, individualisme,
sikap tak acuh terhadap otoritas, dan sikap kaku dank eras terhadap mental. Rodha
E. Howard, HAM: Penjelajahan Dalih
relativisme Budaya. Jakarta: PT. Raja Grafiti, 2000. h xv-xvi
[11]Ibid,. h.156
[12]Prinsip ini menegaskan bahwa negara
anggota ASEAN tidak memiliki wewenang untuk mencampuri setiap permasalahan
negara anggota lainnya. Setiap perkara domestik yang muncul dalam suatu negara
anggota hanya menjadi urusan dalam negri terkait.
[13]Terdapat tiga pilar utama yang dicantumkan
dalam piagam ASEAN ini yaitu (i) politik dan keamanan, (ii) ekonomi, dan (iii)
social budaya. Penghormatan dan
penegakan atas HAM di ASEAN masuk
pada pilarnya yang ke- iii. Kompas, 24 Desember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar