A.
PENDAHULUAN
Islam
turun di tanah Arab pada abad ketujuh. Di mana satu abad sebelumnya pada waktu
itu Jazirah Arab merupakan suatu daerah yang kehidupannya masih jauh dari
peradaban. Namun, di bawah tangan seorang Arab, Muhammad SAW, dan para
pengikutnya Jazirah Arab tampil sebagai penguasa dari dua peradaban, Persia dan
Romawi.
Akibat
manusiawi-nya, Islam, banyak umat manusia yang berbondong-bondong untuk memeluk
agama yang satu ini. Dan untuk melindunginya dibuatlah suatu wadah kekhalifahan.
Dalam
sejarahnya kekhalifaan Islam ini, seringkali mengalami masa kejayaannya. Namun,
kekhalifaan Islam ini juga sering mengalami masa kemunduran dan bahkan
kehancuran.
B.
NABI
MUHAMMAD SAW
Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim
di Makkah pada senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari
peristiwa Gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau
bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M, berdasarkan
penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury dan peneliti
astronomi Mahmud Basya[1].
Ayah
beliau bernama Abdullah anak Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf, anak
seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya bagi Makkah. Ibu beliau
adalah Aminah binti Wahab ibn Abdi Manaf
dari Bani Zuhrah. Ayah dan ibu beliau merupakan saudara sepupu yang
bertemu pada garis keturunan Abdi Manaf.
Sebelum
beliau dilahirkan, ayah beliau telah meninggal dunia setelah tiga bulan
menikahi Aminah. Dan ada pula sebagian ulama yang berpendapat ayah beliau wafat
setelah dua bulan beliau dilahirkan. Muhammad kemudian diserahkan kepada
Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Muhammad dibesarkan sampai usia empat
tahun. Setelah itu, kurang lebih dua tahun beliau berada dalam asuhan ibu
kandungnya. Ketika berusia enam tahun, beliau menjadi yatim piatu[2].
Setelah
Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat
Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena
renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abdul Thalib.
Seperti juga Abdul Muthalib, beliau juga sangat disegani dan dihormati orang
Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan, tetapi beliau miskin[3].
Dalam
usia muda, Muhammad hidup sebagai penggembala kambing keluargannya dan kambing
penduduk Makkah. Melalui kegiatan penggembalaan ini beliau menemukan tempat
untuk berfikir dan merenung. Dalam suasana demikian, beliau ingin melihat
sesuatu dibalik semuanya. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari
segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga beliau terhindar dari berbagai macam
noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda beliau sudah dijuluki al-amin,
orang yang terpercaya[4].
Ahli
sejarah telah sepakat bahwa Muhammad tidak pernah memuja berhala, beliau sangat
benci terhadap berhala-berhala itu dan kepada agama yang dianut oleh bangsa
Arab. Akan tetapi beliau kerap-kali mengasingkan diri untuk berfikir tentang
alam semesta dan pencipta alam semesta ini. Tiap tahun beliau mengasingkan diri
di gua Hira’ selama sebulan[5].
Nabi
Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syria (Syam) dalam
usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ini,
di Bushra, sebelah selatan Syria, beliau bertemu dengan pendeta Kristen bernama
Buhairah. Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu
menasihatkan Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki Syria, sebab
dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat
jahat kepadanya[6].
Pada
usia yang ke-25, Muhammad berangkat ke Syria membawa barang dagangan saudagar
wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah binti Khuwailid. Dalam
perdagangan in Muhammad memperoleh laba yang besar. Dua bulan sepulang beliau
dari Syria, Khadijah menemui paman Muhammad untuk meminta Muhammad melamarnya.
Setelah itu Muhammad[7]
menikahi Khadijah dengan dengan maskawin dua puluh ekor onta muda. Usia
Khadijah sendiri waktu itu 40 tahun.
Pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, malaikat Jibril datang menemui beliau pada
saat beliau sedang berkontemplasi di gua Hira untuk menyampaikan wahyu Allah
yang pertama (QS. 96: 1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad
telah dipilih Tuhan sebagai nabi namun belum diperintahkan untuk menyeru
manusia kepada suatu agama. Setelah turun wahyu ke dua, Muhammad baru
diperintahkan untuk menyerukan suatu agama yang bernama Islam ketengah-tengah
umat manusia. Dalam berdakwah, pertama-tama, beliau melakukannya secara
diam-diam atau sembunyi-sembunyi di lingkungan sendiri (keluarga) dan di
kalangan rekan-rekannya.
Setelah
beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual, turunlah perintah
untuk melakukannya secara terang-terangan atau terbuka.
Setelah
dakwah terang-terangan ini, pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah
rasul[8].
Karena
hebat dan kerasnya halangan yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap para
pemeluk agama baru tersebut, Nabi Muhammad mengungsikan para sahabanya ke Habsyah
(Ethiopia). Dalam mengungsikan sahabanya ini ke Habsyah, terdapat dua
gelombang. Gelombang pertama berjumlah sepuluh orang laki-laki dan empat
perempuan, sedangkan gelombang ke-2 berjumlah hampir seratus orang. Di tengah
meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, Hamzah dan
Umar. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.
Pada
tahun ke-10 kenabian, Abu Thalib dan Khadijah meninggal dunia akibat hebatnya
boikot yang dilakukan kaum musyrik Quraisy untuk membendung arus Islam. Untuk
menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memikrajkan beliau
pada tahun kesepuluh kenabian[9].
Setelah
peristiwa Isra’ dan Mikraj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam
muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke
Makkah. Mereka terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga
gelombang[10]. Pertama, pada
tahun ke-10 kenabian. Kedua, pada tahun ke-12 kenabian yang diikuti
dengan ikrar kesetiaan mereka di suatu tempat bernama Aqabah yang diikuti
dengan pengiriman Mus’ab ibn Umair sebagai juru dakwah bagi mereka. Ikrar
mereka pada tahun tersebut disebut juga perjanjian ‘Aqabah pertama. Ketiga,
pada tahun ke-13 kenabian, yang diikuti dengan janji mereka untuk membela Nabi.
Perjanjian ini disebut juga perjanjian ‘Aqabah kedua.
Setelah
kaum Musryikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dengan
orang-orang Yatsrib itu, mereka makin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum
Muslimi. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah
ke Yatsrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum Muslimin, kurang lebih 150
orang, telah meninggalkan kota Makkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap
tinggal di Makkah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai
beliau pun hijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy merencanakan akan membunuhnya [11].
Setelah
tiba di Yatsrib (madinah), nabi resmi menjadi pemimpin agama dan pemimpin
Negara bagi Madinah. Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru ini,
beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama,
pembangunan Masjid sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat menjalankan pusat
kegiatan kemasyarakatan. Kedua, ukhuwwah islamiah, persaudaraan
sesama Muslim. Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain
yang tidak beragama Islam.
Dengan
terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat[12].
Perkembangan Islam yang pesat membuat musuh-musuh Islam lainnya panik hingga
membuat mereka melakukan tindakan militer untuk memerangi Islam.
Dalam
mempertahankan eksistensinya, kaum Muslimin banyak mengalami peperangan. Perang
pertama yang sangat menentukan masa depan Negara Islam ini adalah Perang Badar
yang terjadi pada tanggal 8 Ramadhan. Dalam perang Badar in kaum Muslimin
keluar sebagai pemenang walaupun dengan senjata seadanya dan pasukan sebesar
305 orang melawan pasukan Quraisy yang dengan 900-1000 pasukan dan senjata yang
lengkap.
Setelah
selesai perang Badar, banyak dari suku-suku Badui yang melakukan hubungan
persahabatan dengan Nabi setelah melihat kekuatan kaum Muslimin.
Menurut
para ahli sejarah, Rasullulah telah ikut pada dua puluh tujuh peperangan (gazwah),
akan tetapi Nabi serta berperang hanyalah dalam sembilan peperangan saja, dan
mengirim tiga puluh delapan sariyyah yang diwakilkan memimpinnya kepada
sahabatnya[13].
Pada
tahun ke-6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi memimpin sekitar
seribu kaum Muslimin berangkat ke Makkah, bukan untuk berperang, melainkan
untuk melakukan ibadah umrah. Sebelum mereka tiba di Makkah, mereka berkemah di
Hudaibiyah beberapa kilometer dari Makkah. Penduduk Makkah tidak mengizinkan
mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian
Hudaibiyah.
Selama
terjadinya perjanjian Hudaibiya, Nabi menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya
dengan untuk berdakwah ke seluruh Jazirah dan keberbagai kerajaan. Selama dua
tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh
Jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Oleh Karena itu, secara
sepihak orang-orang Quraisy mambatalkan perjanjian tersebut. Melihat kenyataan
ini Rasulullah segera bertolak ke Makkah dengan sepuluh ribu orang tentara
untuk melawan mereka. Nabi Muhammad tidak mengalami kesukaran dalam memasuki
kota Makkah. Beliau tampil sebagai pemenang.
Pada
tahun ke-9 dan ke-10 H (630-632 M) banyak suku dari berbagai pelosok Arab
mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad menyatakan ketundukan mereka. Tahun
ini disebut dengan tahun perutusan. Persatuan bangsa Arab telah terwujud;
peperangan antar suku yang berlangsung sebelumnya telah berubah menjadi
persaudaraan seagama[14].
Tahun
10 H (631 M) Nabi Muhammad menunaikan ibadah haji yang terakhir, haji wada’.
Setelah itu, Nabi Muhammad segera kembali ke Madinah.
Kira-kira tiga bulan setelah mengerjakan hajjatul wada’, Nabi menderita demam.
Karena beratnya sakit yang beliau derita, Rasulullah tidak kuasa untuk
mengimami kaum muslimin untuk shalat, maka disuruhlah oleh beliau Abu Bakar
untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat.
Pada hari senin, tanggal 12 Rabiul Awal 11H / 8 Juni
632 M, Nabi Muhammad SAW wafat di rumah istrinya Aisyah[15].
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang
siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah
beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum
Muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau
wafat; belum lagi jenazah beliau dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan
Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan
siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot
karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa
berhak menjadi pemimpni umat Islam[16].
Imam An-Nasai, Abu Ya’la dan Al-Hakim –dia
menyatakan keshahihannya- meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata, “Tatkala
Rasulullah telah dipanggil Allah ke hadirat-nya, orang-orang Anshar berkata,
‘Dari kami ada seorang pemimpin dan dari kalian ada seorang pemimpin’. Kemudian
Umar mendatangi mereka dan berkata. ‘Wahai kaum Anshar, tidaklah kalian tahu
bahwa Rasullulah telah memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat pada
saat hidupnya. Lalu siapa diantara kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju
mendahului Abu Bakar?’. Orang-orang Anshar berkata, ‘kami berlindung kepada
Allah untuk mau mendahului Abu Bakar”[17].
Setelah
wafatnya Rasulullah Islam telah berkembang secara cepat ke berbagai belahan daerah
di seluruh dunia. Dihitung mulai dari Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani,
wilayah kekuasaan Islam masuk hampir di setiap sudut rumah, bahkan kaum musuh
sekalipun.
1. KHULAFA’UR RASYIDDIN
Abu Bakar memegang kendali pemerintahan selama dua
tahun lebih sedikit[18].
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibn Umar, dia berkata, Abu Bakar menjadi khalifah
selama dua tahun tujuh bulan[19].
Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri,
diantaranya yaitu diteruskannya pengiriman tentara Usamah yang pernah disiapkan
Rasulullah, perang melawan orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak
mau membayar zakat, serta pengumpulan Al-Qur’an[20].
Pada hari senin malam selasa tanggal 22 Jumadil
Akhir tahun 13 H / 634 M, Abu Bakar meninggal dunia setelah sakit selama lima
belas hari. Beliau memerintah selama dua tahun tiga bulan. Jenazahnya dimakamkan di rumah Aisyah, di samping
makam Rasulullah. Tentang kematiannya, ada sebagian yang curiga kalau
sebetulnya beliau sakit karena diracun. Namun tidak ada bukti yang menguatkan
pendapat itu.
Sebelum Abu Bakar meninggal, beliau telah
mengemukakan Umar ibn Al-Khattab sebagai calon penggantinya. Dan beliau (Umar)
pulalah calon yang dikemukakan oleh kaum Muslimin.
Umar memangku jabatan khalifah dengan wasiat Abu
Bakar, dia mulai memangku khalifah pada bulan Jumadil Akhir tahun 13 H[21].
Az-Zuhri berkata: Umar menjadi khalifah di hari meninggalnya Abu Bakar. Yakni
pada hari selasa tanggal 22 Jumadil Akhir. (HR. Al-Hakim)[22].
Pada
tahun diangkatnya Umar, ia langsung memecat Khalid bin Walid, panglima yang
diangkat oleh Abu Bakar semasa kekhalifahannya, setelah Khalid memenangi
pertempuran di Damsyik. Abu Ubaidah yang dikirim surat untuk menggantikan
Khalid tidak langsung membaca surat tersebut karena Khalid hampir memenangi
pertarungan. Meski terjadi kontroversi di antara kaum muslim terhadap pemecatan
tersebut, tapi tidak menimbulkan pepecahan yang berarti. Kemenangan yang besar
diperoleh.[23]
Dia (Umar) menjalankan tugas kekhalifahan itu dengan
sebaik-baiknya. Di masa kekhalifahannya terjadi banyak penaklukan (pembukaan)
wilayah-wilayah[24].
Pada masa kekhalifahannya, wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena luasnya daerah yang dimiliki
pemerintahan Islam dan perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera
mengatur administrasi Negara dengan mencontoh administrasi yang sudah
berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan
wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina,
dan Mesir.beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya
mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan
didirikan, dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, departemen kepolisian dibentuk. Demikian
pula departemen pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait Al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijriah[25].
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23
H/634-644 M). masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia meninggal beberapa
hari setelah ditikam beberapa kali oleh seorang budak dari Persia bernama Abu
Lu’luah[26].
Sewaktu Umar kena tikam, beliau tidak bermaksud
hendak mengangkat penggantinya. Faktor-faktor yang mendorong Umar seperti Abu
Bakar untuk menunjuk penggantinya sudah tidak ada lagi sekarang. Tetapi kaum
Muslimin khawatir kalau-kalau terjadi perpecahan setelah Umar meniggal dunia,
karena itu mereka mengusulkan agar Umar menunjuk siapa yang akan menjadi
penggantinya. Akhirnya, beliau menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada
mereka untuk memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah. Enam
orang tersebut adalah:
·
Utsman ibn Affan.
·
Ali ibn Abi Thalib.
·
Thalhah ibn Ubaidillah.
·
Zubair ibn Awwam.
·
Sa’ad ibn Abi Waqqash.
·
Abdurrahman ibn ‘Auf.
Salah seorang putera beliau yaitu Abdullah
ditambahkan beliau kepada sahabat-sahabat yang berenam itu, tetapi dia hanyalah
mempunya hak untuk memilih dan tidak berhak untuk dipilih[27].
Dalam penunjukan penggantinya tersebut, Umar
menentukan beberapa ketentuan. Ketentuan tersebut yaitu:
·
Apabila mencapai mufakat memilih satu orang, maka orang itu akan
ditetapkan sebagai khalifah.
·
Bila lima orang dari mereka telah mufakat memilih seseorang dan yang
seorang menolak maka kepalanya segera dipenggal.
·
Apabila empat orang telah mufakat dan dua orang telah menolak maka
keduanya harus dibunuh.
·
Apabila terdapat dua bagian sama maka yang menjadi khalifah ialah yang
mendapat suara Abdurrahman ibn ‘Auf[28].
Dalam pada itu oleh Umar ditentukan jangka waktu
memilih. Pemilihan itu haruslah selesai dalam jangka waktu yang ditentukan[29].
Ibn Sa’ad meriwayatkan dari Anas Dia berkata:
Beberapa saat sebelum meninggal, Umar mengirim seseorang untuk menemui Abu
Thalha Al-Anshari. Dia berkata, “Panggillah lima puluh orang dari kalangan Anshar
dan diamlah kalian bersama orang-orang yang melakukan musyawarah. Sebab saya
kira mereka akan berkumpul di sebuah rumah. Jangan kau biarkan seseorang masuk
kepada mereka dan jangan biarkan mereka melewati tiga hari hingga di antara
mereka ada yang dijadikan sebagai seorang pemimpin”[30].
Setelah Umar wafat, tim tersebut bermusyawarah dan
berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat
dengan Ali ibn Abi Thalib[31].
Menurut Ahmad Syalabi, ada beberapa sebab yang
menyebabkan terpilihnya Utsman sebagai khalifah, sebab tersebut yaitu:
·
Kemungkinan menarik kembali jabatan khalifah nanti dari Bani Umaiyah
adalah lebih besar, dari pada menariknya kembali dari Bani Hasyim.
·
Orang tidak mau meneruskan cara-cara Umar memerintah yang sangat radikal,
keras dan disiplin. Mereka tidak ingin menyerahkan jabatan khalifah kepada Ali,
dirasakan bahwa Ali akan melanjutkan cara Umar memerintah, yaitu radikal, keras
dan disiplin. Maka, diserahkan kepada Utsman, karena Utsman seorang yang lunak,
pemurah dan mempunyai sifat toleransi[32].
Di masa pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini[33].
Pada tahun 35 H, Utsman terbunuh setelah 12 tahun
memerintah.
Az-Zuhri berkata: Utsman memangku kekhalifahan
selama dua belas tahun. Selama enam tahun pemerintahannya tidak ada seorang pun
yang mengatakan kebencian kepadanya. Sebab dia adalah orang yang lebih
disenangi oleh orang Quraisy dari pada Umar ibn Khaththab. Sebab Umar sangat
keras dan tegas kepada mereka. Tatkala Utsman berkuasa, dia bersikap lunak
kepada mereka dan menyambungkan semua hubungan dengan mereka. Namun kemudian
setelah dia bersikap lamban dalam menyelesaikan perkara mereka. Lalu dia
mengangkat kerabat-kerabat dekatnya pada enam tahun terakhir. Dia memberikan
kekuasaan kepada Marwan seperlima dari wilayah Afrika. Dia juga memberikan
harta kepada kerabat-kerabatnya dari Baitul Mal. Dia menafsirkan ini sebagai
tali silaturrahmi sebagaiman yang Allah perintahkan kepada umat-Nya. Dia
berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun
saya mengambil apa yang menjadi hak saya, dan saya bagikan kepada
saudara-saudara dekatku”. Orang-orang yang ada pada saat itu menyatakan protes.
(Riwayat Ibnu Sa’ad)[34].
Salah satu faktor yang menyebabkan rakyat kecewa
terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam
kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah
yang pada dasarnya menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang
gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam
jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan keluarganya itu. Dia
tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga
tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya
dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri[35].
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya
tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Utsman berjasa membangun bendungan
untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota.
Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan
memperluas masjid nabi di Madinah[36].
Setelah Utsman wafat, masyarakat berramai-ramai
membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ibnu Sa’ad berkata: Ali dibaiat
sebagai khalifah sehari setelah terbunuhnya Utsman di Madinah. Semua sahabat
membaiatnya sebagai khalifah. Disebutkan bahwa Thalha dan Zubair membaiatnya
dengan sangat terpaksa dan bukan dengan suka rela[37].
Eric Schroeder (dalam Mohammed’s People,
terbitan Inggris, 1955), mengatakan, “Lima hari setelah pembunuhan atas
khalifah Utsman, rakyat berkumpul dan memutuskan: “Kami tidak mengenal orang
yang lebih tepat selain Ali untuk menjadi imam (pemimpin), tetapi ia tidak mau
mengambil beban kepemimpinan itu”. Sebagian menjawab, “tekan ia di rumahnya
hingga ia menerimanya”. Mereka semua berkumpul di rumah Ali dengan begitu
bersemangat sehingga berdesak-desakkan. Mereka memanggil Ali keluar, dan
mengatakan: “Apabila kami kembali ke rumah lagi tanpa adanya seorang imam dan
khalifah, pergolakan akan menggoncang kita sehingga seorang pun tidak akan tak
akan mampu menenangkannya. Anda harus menyetujui untuk menjadi imam dan
khalifah kami”. Ali menjawab: “kecil keinginan saya untuk jabatan itu, namun
kaum Mukminin harus mempunyai seorang pemimpin, dan dengan senang saya akan
menerima wewenang duniawi untuk seorang
lain, Thalha”. “Tidak, anda lebih berhak dari saya”, kata Thalha. Seseorang
dengan paksa membuka tangan Ali, dan Thalha membaiatnya, Zubair berbuat serupa
dan dari rumahnya Ali dibawa ke masjid lalu setiap orang sekali lagi mendesak
ke sekitarnya untuk menyampaikan baiat kepadanya sebagai imam dan khalifah”[38].
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur
yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi
karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara,
dan memakai kembali system distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam
sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Banyak pendukung dan kaum kerabat Ali yang
menasehatinya supaya menangguhkan tindakkan-tindakan radikal seperti itu sampai
keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapat
tantangan dari keluiarga Bani Umaiyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangunlah
Mu’awiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali[39].
Tidak lama setelah itu, Ali menghadapi pemberontakan
Thalha, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menuntut bela terhadap
darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalha, Zubair dan Aisyah agar
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya peperangan yang dasyat pun berkobar. Perang ini
dikenal dengan nama “Perang Jamal” (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran
tersebut menunggangi Unta[40].
Ali berhasil mengalahkan lawannya. Namun, ia bersedih karena banyaknya kaum
Muslimin yang terbunuh akibat perang saudara tersebut terlebih lagi setelah
mendengar kematian Thalha dan Zubair. Dalam peperangan tersebut Aisyah selamat
dan dikirim kembali oleh Ali ke Madinah dengan kawalan saudaranya, Muhammad ibn
Abu Bakar.
Baru saja pemberontakan Thalha dan Zubair tertumpas,
Mu’awiyah yang telah memegang jabatan gubernur Syam sejak zaman khalifah Umar,
melancarkan pemberontakan yang didukung oleh keluarganya dan sejumlah bekas
pejabat yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Setelah selesai menyelesaikan perang Jamal, Ali
bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin. Perang ini dikenal dengan nama
perang Siffin. Perang ini berakhir dengan tahkim (arbitrase), tapi
ternyata tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan
timbulnya golongan ketiga, Al-Khawarij, orang yang keluar dari barisan Ali.
Akibatnya, diujung masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Sy’iah (pengikut) Ali, dan
Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali. Munculnya Al-Khawarij menyebabkan tentaranya menjadi lemah,
sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat[41].
Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh
oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota khawarij, setelah enam tahun memerintah.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh
anaknya, Hasan, selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah,
sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai.
Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Disisi lain, perjanjian itu juga
menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolute dalam Islam. Tahun 41 H (661
M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am
jama’ah). Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut dengan masa
Khulafa’ur Rasyiddin dan dimulailah kekusaan Bani Umaiyah dalam sejarah politik
Islam[42].
2.
DAULAH
UMAIYAH
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang
menjadi awal kekuasaan Bani umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis
berubah menjadi monarchiheridetis ( kerajaan turun temurun)[43].
Nama “Daulah Umaiyah” itu berasal dari
nama “Umaiyah ibn ‘Abdi Syam ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari
pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah[44].
Keluarga Bani umaiyah itu terdiri atas dua cabang, merekalah yang memegang
jabatan itu. Cabang pertama ialah Harb ibn Umaiyah, dan cabang kedua adalah
keluarga Abul ‘Ash ibn Umaiyah. Kebanyakan khalifah-khalifah Bani Umaiyah
adalah berasal dari cabang yang kedua itu. Adapun khalifah-khalifah yang
berasal dari cabang pertama hanyalah Mu’awiyah, puteranya Yazid, dan cucunya Mu’awiyah
II[45].
Pendiri Kekalifahan
ini yaitu Mu’awiyah yang ia peroleh kekhalifahan ini dengan cara melalui
kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Mu’awiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. Mu’awiyah
bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap
mengunakan istilah khalifah, namun dia mengunakan interpretasi baru dari
kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah
Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah[46].
Kekalifahan Bani
Umaiyah hanya memerintah selama kurang lebih 91 tahun, dengan 14 khalifah,
yaitu :
·
Mu’awiyah I
ibn Abi Sufyan.
·
Yazid I ibn
Mu’awiyah.
·
Mu’awiyah II
ibn Yazid.
·
Marwan I ibn
Al-Hakam.
·
Abdul Malik
ibn Marwan.
·
Al-Walid I
ibn Abdul Malik.
·
Sulaiman ibn
Abdul Malik.
·
Yazid ibn
Abdul Malik.
·
Hisyam ibn
Abdul Malik.
·
Al-Walid II
ibn Yazid.
·
Yazid ibn
Al-Walid.
·
Ibrahim ibn
Al-Walid.
·
Marwan II ibn
Muhammad.
Dari ke-14 khalifah
tersebut, hanya lima yang merupakan khalifah-khalifah besar Bani Umaiyah, yaitu
Muawiyah 1, Abd Al-Malik ibn Marwan, Walid ibn Abd Al-Malik, Umar ibn Abd
Al-Aziz, dan Hasyim ibn Abd Al-Malik.
Pada masa kekuasaan Bani Umaiyah,
wilayah kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Selatan, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah[48].
Di samping ekspansi kekuasaan Islam,
Bani Umaiyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Mu’awiyah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus
seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi
adalah spesialis dibidangnya. Abd Al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan
Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia
mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan
Arab. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
adminidtrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan khalifah Abd Al-Malik diikuti
oleh putranya Al-Walid. Dia membangun panti untuk orang-orang cacat. Semua
personel yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh negara secara tetap.
Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan
daerah lainya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid
yang megah[49].
Meskipun keberhasilan banyak
dicapai, politik dalam negeri tidak dapat dikatakan stabil. Mu’awiyah tidak
menaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali. Selain itu, banyak
pemberontakan-pemberontakan terjadi. Di antaranya pemberontakan yang
dilancarkan oleh Ibnu Zubair yang hampir menguasai pemerintahan. Selain itu
kaum Syiah melakukan perlawanan akibat dibunuhnya Husein ibn Ali dan juga
gerakan-gerakan anarkis yang dilakukan oleh kaum Khawarij.
Pada masa kekhalifahan Umar ibn Abd
Al-Aziz, hubungan pemerintahan dengan golongan opsisi membaik akibat sikap
toleransinya yang sangat baik dengan berbagai kalangan. Namun, sepeninggal
Umar, kekuatan Bani Umaiyah melemah. Dan setelah kekhalifahan Hisyam ibn abd
Al-Malik, pemerintahan daulah Bani Umaiyah semakin melemah akibat sikap para
penguasa yang suka berfoya-foya dan juga akibat munculnya suatu kekuatan baru
dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh kaum mawali yang bahkan
menumbangkan kekusaan daulah Bani Umaiyah.
Menurut Dr. Badri Yatim, ada
beberapa faktor yang menyebabkan lemah dan hancurnya kekuasaan Bani Umaiyah.
Faktor-faktor tersebut yaitu:
·
Sistem
penggantian khalifah melalui garis keturunan merupakan suatu sistem kekusaan
yang baru bagi bangsa Arab yang lebih mementingkan aspek senioritas.
·
Latar
belakang terbentuknya dinasti Bani Umaiyah tidak dapat dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
·
Pada masa
kekuasaan Bani Umaiyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays)
dengan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam
makin meruncing.
·
Sikap hidup
mewah dan berfoya-foya kalangan istana yang menyebabkan anak-anak khalifah
tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
·
Munculnya
kekuatan baru dari keturunan Al-Abbas paman Nabi yang mendapatkan dukungan dari
Bani Hasyim, golongan Syiah dan kaum
Mawali.
3.
DAULAH
ABBASIYAH
Daulah
Abbasiyah atau khilafah Abbasiyah merupakan daulah pengganti daulah Umaiyah.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan para penguasa dinasti ini
adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw[50].
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah (Abu Al-Abbas) Al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas, Abu Ja’far Al-Mansur dan Abu Muslim
Al-khurasani. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M) dengan 37 khalifah yang memerintah.
Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbas menjadi lima periode[51]:
·
Periode
Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia yang
pertama.
·
Periode Kedua
(232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
·
Periode
Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan Bani Buwaihi dalam
pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Peride ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
·
Periode
Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Bani Seljuk dalam
pemerintahan Khilafah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
·
Priode Kelima
(590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada
Periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertiggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam[52].
Setelah masa itu kelemahan dan kemunduran mulai dialami. Faktor-faktor yang
menyebabkan kelemahan itu antara lain:
·
Luasnya
wilayah kekuasaan.
·
Perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan.
·
Persaingan
antar bangsa untuk menguasai pemerintahan.
·
Munculnya
dinasti-dinasti kecil yang ingin memisahkan diri.
·
Moral dan
gaya hidup para khalifah dan bangsawan yang kurang mementingkan kenegaraan.
·
Kemerosotan
ekonomi.
·
Konflik
keagamaan.
·
Ancaman dari
luar.
Masa
pemerintahan Abu Al-Abbas, salah satu pendiri daulah ini sangat singkat, yaitu
dari tahun 750 M sampai 754 M. karena itu pembina sebenarnya dari daulah
Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M), yang terkenal dengan
sifatnya yang keras dan tegas dalam pemerintahan. Al-Mansurlah yang telah
memantapkan dan meneguhkan kerajaan Abbasiyah, menyusun peraturan-peraturan,
membuat undang-undang,dan menciptakan inovasi-inovasi dalam pemerintahan[53].
Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas
dan Abu Ja’far Al-Mansur, maka, puncak keemaan dari dinasti ini berada pada
tujuh khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M),
Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M),
Al-Watsiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M)[54].
Pada
periode Pertama ini wilayah kekuasaan Abbasiyah sangat luas, meliputi berbagai
bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan
India. Namun pada periode terakhir dari pemerintahan daulah Abbasiyah, wilayah
kekusaannya hanya meliputi kota Bagdad dan sekitarnya.
Pada
masa daulah Abbasiyah ini terjadi Perang Salib yang sangat terkenal yang
terjadi dalam beberapa gelombang dan periode. Pada dasarnya perang tersebut
adalah perang antara pemerintahan Paus di Roma yang ingin memperebutkan
Yarussalem dari kekuasaan Islam dengan pemerintahan Islam yang dalam hal ini
diwakilkan oleh daulah Abbasiyah yang ingin mempertahankan Yarussalem.
Pada
tahun 1258 M, tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan menyerang Bagdad,
yang merupakan akhir dari pemerintahan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah.
4.
DAULAH TURKI
UTSMANI
Daulah
kerajaan Turki Utsmani berasal dari dari bangsa Turki dari kabilah Oghus yang
mendiami daerah mongol dan daerah utara negeri Cina[55].
Garis keturunan Bani Utsmani bersambung pada kabilah Turkmaniyah, yang pada
permulaan abad ketujuh Hijriyah atau bertepatan abad ketiga belas Masehi,
mendiami Kurdistan[56].
Akibat
serangan orang-orang Mongolia di bawah pimpinan Jengis khan ke Irak dan
wilayah-wilayah asia kecil, Sulaiman, kakek dari Utsman melakukan hijrah pada
tahun 617 H/1220 M[57].
Ketika
Urtughril (Ertoghril) menggantikan ayahnya, Sulaiman, sebagai pemimpin kabilahnya,
kabilah Oghus diberi sebidang tanah di daerah Anatolia akibat dari dedikasi Urtughril
terhadap kerajaan Seljuk.
Pendiri
kerajaan ini adalah Ustman ibn Urtughril yang membangun kerajaannya dari
kerajaan kecil dibawah naungan kerajaan Turki Seljuk. Pada tahun 699 H (1300 M),
Utsman mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Utsmani (raja besar
keluarga [kerajaan] Utsman) setelah
diserangnya kerajaan Turki Seljuk oleh bangsa Mongol.
Pada
masa Orkhan (726-761 H/1326-1359 M), kerajaan Turki Ustmani dapat menaklukan
Azmir, Thawasyanli, Uskandar, Ankara, dan Gallipoli.
Tahun
1389. Koalisi Salibis yang terdiri dari orang-orang Serbia, Bulgaria, Hungaria
dan wilayah Walasyi menghimpun pasukan yang terdiri dari 60.000 pasukan untuk
menghadang pasukan Utsmani yang dikomandani Lala Syahin. Namun koalisi itu
kalah dan melarikan diri.
Pada 1402 M, Timur Lenk, raja Mongol
menumpaskan tentara Utsmaniyah di Ankara.tepatnya pada tanggal 20 Juli 1402 M,
Timur Lenk bergerak dengan pasukan yang begitu banyaknya, sehingga sultan
Bayazid I bin Murad, sultan yang berkuasa kala itu, menjadi tawanan.
Pasca
kekalahan itu, pasukan Utsmani mengalami kemunduran. Apalagi ditambah oleh
perang saudara putra-putra Bayazid dalam memperebutkan kekuasaan. Perang
saudara tersebut terjadi sekitar sepuluh tahun. Yaitu sekitar tahun 1403-1413 M.
Pada
1451 M, sultan Muhammad al-Fatih naik tahta. Dia merupakan sultan Utsmani
ketujuh dan terbesar sepanjang sejarah perjalanan dinasti itu. Dia memangku
kesultanan pada 18 Februari 1451 M, atau 22 tahun setelah kelahiranya. Ia
mendapat gelar al-Fatih karena kegemilangannya dalam menaklukkan
Konstantinopel, ibukota kerajaan Romawi. Arti dari al-Fatih sendiri adalah
'pembuka'.
Tahun
1520 M, Sulaiman al-Qanuni dilantik menjadi sultan. Saat itu ia berusia dua
puluh enam tahun. Di awal pemerintahannya, ia dihadapkan dengan berbagai cobaan
dengan adanya empat pemberontakan sekaligus. Namun, ia berhasil dengan gemilang
menghadapi itu semua. Dan bahkan, dia telah membawa kerajaanya menjadi lebih
besar dari masa Muhammad Al-Fatih.
Setelah
Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Utsmani mulai memasuki
fase kemunduran[58]. Berbagai penyimpangan
yang dilakukan oleh para sultan di akhir pemerintahan Utsmani telah mendorong
pemerintahan Utsmani meluncur deras menuju jurang kehancuran. Akan tetapi,
sebagai suatu kerajaan yang besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung
terlihat[59]. Baru setelah abad ke-18
kemerosotan itu mulai terlihat dengan jelas, dan akhirnya pada awal abad ke-20
M, kerajaan Turki mengalami kejatuhannya.
Banyak
faktor yang menyebabkan kerajaan Utsmani mengalami kemunduran, di antaranya
adalah:
·
Wilayah
kekuasaan yang sangat luas.
·
Heterogenitas
penduduk.
·
Kelemahan
para penguasa.
·
Budaya
pungli.
·
Pemberontakan
tentara Jenissari.
·
Merosotnya
ekonomi.
BIBLIOGARAFI
·
Amin, Husayn Ahmad, Seratus
tokoh dalam Sejarah Islam, Cet. VII, Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, 2001.
·
Ash-Shalabi,
Dr. Ali Muhammad. 2002. Bangkit dan Runtuhnya khilafah Utsmaniyah.
Diterjemahkan oleh Samson Rahman, MA., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
·
Haekal, Moh.
Husein, Umar bin Kahattab, diterjemahkan oleh Ali Audah, cet.III,
Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2002.
·
Haekal, Muhammad Husain, Usman
bin Affan, Cet.IV, diterjemahkan oleh Ali Audah. Bogor : Pustaka Litera Antarnusa, 2006.
·
Mubarakfury, Syaikh
Shafiyyurrahman Al-, Sirah Nabawiyah, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi,
cet. Ke-19, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
·
Musawi, Sayyid
Abul Hasan Ali ibn Husain Ar-Radhi Al-, Nahjul Balagha: kumpulan khotbah,
surat dan ucapan Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib(k.w.), diterjemahkan
oleh O. Hashem, Bandar Lampung-Jakarta: YAPI, 1990.
·
Saepudin,
Didin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.
·
Suyuthi, Imam
Al-, Tarikh Khulafa’, Penerjemah:
Samson Rahman, Jakarta: pustaka Al-Kautsar, 2006.
·
Syalabi,
Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.
Mukhtar Yahya, cet. Ke 3 , Jakarta: Jayamurni, 1973.
·
______, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan
Drs. M. Sanusi Latif, cet. Ke 2 , Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992.
·
Yatim, Badri,
Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
[1] Syaikh Shafiyyurrahman Al-mubarakfury, Sirah Nabawiyah,
diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, cet. Ke-19, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 75.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 16.
[3] Ibid, hlm. 17.
[4] Ibid, hlm. 17
[5] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, diterjemahkan
oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, cet. Ke 3 , (Jakarta : Jayamurni, 1973), hlm.
57.
[6] Badri Yatim, op. cit., hlm. 17.
[7] Semua putra-putri beliau, selain Ibrahim yang dilahirkan dari Maria
Al-Qibthiyah, dilahirkan dari Khadijah. Namun semua putra-putri beliau meninggal
selain Fathimah yang meninggal dunia enam bulan setelah beliau meninggal dunia.
Putra-putri beliau yaitu: Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah,
dan Abdullah.
[8] Badri Yatim, op. cit., hlm. 20.
[9] Ibid, hlm. 24.
[10] Ibid, hlm. 24.
[11] Ibid, hlm. 24.
[12] Ibid, hlm. 27.
[13] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 119.
[14] Ibid, hlm. 32.
[15] Ibid, hlm. 33.
[16] Ibid, hlm. 35.
[17] Imam As-Suyuthi, Tarikh
Khulafa’, Penerjemah: Samson Rahman, (Jakarta :
pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 74.
[18] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 167.
[19] Imam As-Suyuthi, op. cit., hlm. 93.
[21] Ibid, hlm. 150.
[22] Ibid, hlm. 150.
[23] Moh. Husein Haekal, Umar bin Kahattab, diterjemahkan oleh
Ali Audah, cet.III, (Jakarta :
PT Pustaka Litera Antarnusa, 2002). Hal: 142.
[25] Badri Yatim, op. cit., hlm. 37-38.
[26] Ia adalah seorang bangsa Persia , Dia ditawan oleh tentara Islam
sewaktu peperangan di Nahawand, dan kemudian menjadi hamba sahaya dari Mughirah
ibn Syu’bah. Setelah membunuh Umar, ia bunuh diri dengan menggunakan pedang
yang ia gunakan sewaktu membunuh Umar.
[27]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 191.
[28] Sayyid Abul Hasan Ali ibn Husain Ar-Radhi Al-Musawi, Nahjul
Balagha: kumpulan khotbah, surat
dan ucapan Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib(k.w.), diterjemahkan oleh O.
Hashem, (Bandar Lampung-Jakarta: YAPI, 1990), hlm. 55.
[29] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm.191.
[30] Imam As-Suyuthi, op. cit.,
hlm.177.
[31] Badri Yatim, op.cit., hlm.38.
[32] Ahmad Syalabi op. cit., hlm. 195.
[33] Badri Yatim, op. cit., hlm.38.
[34] Imam As-Suyuthi, , hlm.180-181.
[35] Badri Yatim, op.cit., hlm. 38-39.
[36] Ibid, hlm. 39.
[37] Imam As-Suyuthi, op. cit., hlm. 201-202.
[38] Sayyid Abul Hasan Ali ibn Husain Ar-Radhi Al-Musawi, op. cit.,
hlm. 58.
[39] Ahmad Syalabi op. cit., hlm. 203.
[40] Badri Yatim, op.cit., hlm. 40.
[42] Ibid, hlm. 40-41.
[43] Ibid, hlm. 42.
[44] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, diterjemahkan
oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latif, cet. Ke 2 , (Jakarta
: Pustaka Al-Husna, 1992), hlm. 24
[45] Ibid, hlm. 28.
[46] Ahmad Syalabi, op.cit 2. , hlm. 42.
[47] Dia disebut juga sebagai Umar ke-2 dan telah disepakati ileh
sebagian besar ulama sebagai Khalifah Rasyidin ke-5. Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“ para Khalifah (Rasyiddin) itu ada lima: Abu Bakar, Umar ibn Al-Khattab,
Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Abdul Aziz.” (diriwayatkan oleh
Abu Daud dalam Sunannya).
[48] Badri Yatim, op.cit., hlm. 44.
[49] Ibid, hlm. 44-45.
[50] Ibid, hlm. 49.
[51] Ibid, hlm. 49-50.
[52] Ibid, hlm. 50.
[53] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2007), hlm. 71.
[54] Badri Yatim, op.cit., hlm. 52.
[55] Ibid, hlm. 129.
[56] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah
Utsmaniyah, diterjemahkan oleh Samson Rahman, MA., (Jakarta : Al-Kautsar, 2003), hlm. 41.
[57] Ibid, hlm. 41.
[58] Badri Yatim, op.cit., hlm. 163.
[59] Ibid, hlm. 163.
[60] Ibid, hlm. 167-168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar