Minggu, 21 Desember 2014

Sejara Islam; Ringkasan Era Muhammad saw sampai Turki Utsmani


A.    PENDAHULUAN
Islam turun di tanah Arab pada abad ketujuh. Di mana satu abad sebelumnya pada waktu itu Jazirah Arab merupakan suatu daerah yang kehidupannya masih jauh dari peradaban. Namun, di bawah tangan seorang Arab, Muhammad SAW, dan para pengikutnya Jazirah Arab tampil sebagai penguasa dari dua peradaban, Persia dan Romawi.
Akibat manusiawi-nya, Islam, banyak umat manusia yang berbondong-bondong untuk memeluk agama yang satu ini. Dan untuk melindunginya dibuatlah suatu wadah kekhalifahan.
Dalam sejarahnya kekhalifaan Islam ini, seringkali mengalami masa kejayaannya. Namun, kekhalifaan Islam ini juga sering mengalami masa kemunduran dan bahkan kehancuran.


B.     NABI MUHAMMAD SAW
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari peristiwa Gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury dan peneliti astronomi Mahmud Basya[1].
Ayah beliau bernama Abdullah anak Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf, anak seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya bagi Makkah. Ibu beliau adalah Aminah binti Wahab ibn Abdi Manaf  dari Bani Zuhrah. Ayah dan ibu beliau merupakan saudara sepupu yang bertemu pada garis keturunan Abdi Manaf.
Sebelum beliau dilahirkan, ayah beliau telah meninggal dunia setelah tiga bulan menikahi Aminah. Dan ada pula sebagian ulama yang berpendapat ayah beliau wafat setelah dua bulan beliau dilahirkan. Muhammad kemudian diserahkan kepada Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Muhammad dibesarkan sampai usia empat tahun. Setelah itu, kurang lebih dua tahun beliau berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun, beliau menjadi yatim piatu[2].
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abdul Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, beliau juga sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan, tetapi beliau miskin[3].
Dalam usia muda, Muhammad hidup sebagai penggembala kambing keluargannya dan kambing penduduk Makkah. Melalui kegiatan penggembalaan ini beliau menemukan tempat untuk berfikir dan merenung. Dalam suasana demikian, beliau ingin melihat sesuatu dibalik semuanya. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga beliau terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda beliau sudah dijuluki al-amin, orang yang terpercaya[4].
Ahli sejarah telah sepakat bahwa Muhammad tidak pernah memuja berhala, beliau sangat benci terhadap berhala-berhala itu dan kepada agama yang dianut oleh bangsa Arab. Akan tetapi beliau kerap-kali mengasingkan diri untuk berfikir tentang alam semesta dan pencipta alam semesta ini. Tiap tahun beliau mengasingkan diri di gua Hira’ selama sebulan[5].
Nabi Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syria (Syam) dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ini, di Bushra, sebelah selatan Syria, beliau bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menasihatkan Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki Syria, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat kepadanya[6].
Pada usia yang ke-25, Muhammad berangkat ke Syria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah binti Khuwailid. Dalam perdagangan in Muhammad memperoleh laba yang besar. Dua bulan sepulang beliau dari Syria, Khadijah menemui paman Muhammad untuk meminta Muhammad melamarnya. Setelah itu Muhammad[7] menikahi Khadijah dengan dengan maskawin dua puluh ekor onta muda. Usia Khadijah sendiri waktu itu 40 tahun.
Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, malaikat Jibril datang menemui beliau pada saat beliau sedang berkontemplasi di gua Hira untuk menyampaikan wahyu Allah yang pertama (QS. 96: 1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah dipilih Tuhan sebagai nabi namun belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama. Setelah turun wahyu ke dua, Muhammad baru diperintahkan untuk menyerukan suatu agama yang bernama Islam ketengah-tengah umat manusia. Dalam berdakwah, pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi di lingkungan sendiri (keluarga) dan di kalangan rekan-rekannya.
Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual, turunlah perintah untuk melakukannya secara terang-terangan atau terbuka.
Setelah dakwah terang-terangan ini, pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah rasul[8].
Karena hebat dan kerasnya halangan yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap para pemeluk agama baru tersebut, Nabi Muhammad mengungsikan para sahabanya ke Habsyah (Ethiopia). Dalam mengungsikan sahabanya ini ke Habsyah, terdapat dua gelombang. Gelombang pertama berjumlah sepuluh orang laki-laki dan empat perempuan, sedangkan gelombang ke-2 berjumlah hampir seratus orang. Di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, Hamzah dan Umar. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.
Pada tahun ke-10 kenabian, Abu Thalib dan Khadijah meninggal dunia akibat hebatnya boikot yang dilakukan kaum musyrik Quraisy untuk membendung arus Islam. Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memikrajkan beliau pada tahun kesepuluh kenabian[9].
Setelah peristiwa Isra’ dan Mikraj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Makkah. Mereka terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang[10]. Pertama, pada tahun ke-10 kenabian. Kedua, pada tahun ke-12 kenabian yang diikuti dengan ikrar kesetiaan mereka di suatu tempat bernama Aqabah yang diikuti dengan pengiriman Mus’ab ibn Umair sebagai juru dakwah bagi mereka. Ikrar mereka pada tahun tersebut disebut juga perjanjian ‘Aqabah pertama. Ketiga, pada tahun ke-13 kenabian, yang diikuti dengan janji mereka untuk membela Nabi. Perjanjian ini disebut juga perjanjian ‘Aqabah kedua.
Setelah kaum Musryikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang Yatsrib itu, mereka makin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum Muslimi. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum Muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Makkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Makkah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai beliau pun hijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy merencanakan akan membunuhnya             [11].
Setelah tiba di Yatsrib (madinah), nabi resmi menjadi pemimpin agama dan pemimpin Negara bagi Madinah. Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru ini, beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan Masjid sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat menjalankan pusat kegiatan kemasyarakatan. Kedua, ukhuwwah islamiah, persaudaraan sesama Muslim. Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam.
Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat[12]. Perkembangan Islam yang pesat membuat musuh-musuh Islam lainnya panik hingga membuat mereka melakukan tindakan militer untuk memerangi Islam.
Dalam mempertahankan eksistensinya, kaum Muslimin banyak mengalami peperangan. Perang pertama yang sangat menentukan masa depan Negara Islam ini adalah Perang Badar yang terjadi pada tanggal 8 Ramadhan. Dalam perang Badar in kaum Muslimin keluar sebagai pemenang walaupun dengan senjata seadanya dan pasukan sebesar 305 orang melawan pasukan Quraisy yang dengan 900-1000 pasukan dan senjata yang lengkap.
Setelah selesai perang Badar, banyak dari suku-suku Badui yang melakukan hubungan persahabatan dengan Nabi setelah melihat kekuatan kaum Muslimin.
Menurut para ahli sejarah, Rasullulah telah ikut pada dua puluh tujuh peperangan (gazwah), akan tetapi Nabi serta berperang hanyalah dalam sembilan peperangan saja, dan mengirim tiga puluh delapan sariyyah yang diwakilkan memimpinnya kepada sahabatnya[13].
Pada tahun ke-6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum Muslimin berangkat ke Makkah, bukan untuk berperang, melainkan untuk melakukan ibadah umrah. Sebelum mereka tiba di Makkah, mereka berkemah di Hudaibiyah beberapa kilometer dari Makkah. Penduduk Makkah tidak mengizinkan mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Selama terjadinya perjanjian Hudaibiya, Nabi menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dengan untuk berdakwah ke seluruh Jazirah dan keberbagai kerajaan. Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Oleh Karena itu, secara sepihak orang-orang Quraisy mambatalkan perjanjian tersebut. Melihat kenyataan ini Rasulullah segera bertolak ke Makkah dengan sepuluh ribu orang tentara untuk melawan mereka. Nabi Muhammad tidak mengalami kesukaran dalam memasuki kota Makkah. Beliau tampil sebagai pemenang.
Pada tahun ke-9 dan ke-10 H (630-632 M) banyak suku dari berbagai pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad menyatakan ketundukan mereka. Tahun ini disebut dengan tahun perutusan. Persatuan bangsa Arab telah terwujud; peperangan antar suku yang berlangsung sebelumnya telah berubah menjadi persaudaraan seagama[14].
Tahun 10 H (631 M) Nabi Muhammad menunaikan ibadah haji yang terakhir, haji wada’. Setelah itu, Nabi Muhammad segera kembali ke Madinah.
Kira-kira tiga bulan setelah mengerjakan hajjatul wada’, Nabi menderita demam. Karena beratnya sakit yang beliau derita, Rasulullah tidak kuasa untuk mengimami kaum muslimin untuk shalat, maka disuruhlah oleh beliau Abu Bakar untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat.
Pada hari senin, tanggal 12 Rabiul Awal 11H / 8 Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW wafat di rumah istrinya Aisyah[15].
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat­­­; belum lagi jenazah beliau dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpni umat Islam[16].
Imam An-Nasai, Abu Ya’la dan Al-Hakim –dia menyatakan keshahihannya- meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata, “Tatkala Rasulullah telah dipanggil Allah ke hadirat-nya, orang-orang Anshar berkata, ‘Dari kami ada seorang pemimpin dan dari kalian ada seorang pemimpin’. Kemudian Umar mendatangi mereka dan berkata. ‘Wahai kaum Anshar, tidaklah kalian tahu bahwa Rasullulah telah memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat pada saat hidupnya. Lalu siapa diantara kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju mendahului Abu Bakar?’. Orang-orang Anshar berkata, ‘kami berlindung kepada Allah untuk mau mendahului Abu Bakar”[17].

C.    ISLAM SETELAH NABI MUHAMMAD SAW WAFAT
Setelah wafatnya Rasulullah Islam telah berkembang secara cepat ke berbagai belahan daerah di seluruh dunia. Dihitung mulai dari Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani, wilayah kekuasaan Islam masuk hampir di setiap sudut rumah, bahkan kaum musuh sekalipun.

1.      KHULAFA’UR RASYIDDIN
Abu Bakar memegang kendali pemerintahan selama dua tahun lebih sedikit[18]. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibn Umar, dia berkata, Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun tujuh bulan[19]. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, diantaranya yaitu diteruskannya pengiriman tentara Usamah yang pernah disiapkan Rasulullah, perang melawan orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak mau membayar zakat, serta pengumpulan Al-Qur’an[20].
Pada hari senin malam selasa tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 H / 634 M, Abu Bakar meninggal dunia setelah sakit selama lima belas hari. Beliau memerintah selama dua tahun tiga bulan. Jenazahnya dimakamkan di rumah Aisyah, di samping makam Rasulullah. Tentang kematiannya, ada sebagian yang curiga kalau sebetulnya beliau sakit karena diracun. Namun tidak ada bukti yang menguatkan pendapat itu.
Sebelum Abu Bakar meninggal, beliau telah mengemukakan Umar ibn Al-Khattab sebagai calon penggantinya. Dan beliau (Umar) pulalah calon yang dikemukakan oleh kaum Muslimin.
Umar memangku jabatan khalifah dengan wasiat Abu Bakar, dia mulai memangku khalifah pada bulan Jumadil Akhir tahun 13 H[21]. Az-Zuhri berkata: Umar menjadi khalifah di hari meninggalnya Abu Bakar. Yakni pada hari selasa tanggal 22 Jumadil Akhir. (HR. Al-Hakim)[22].
Pada tahun diangkatnya Umar, ia langsung memecat Khalid bin Walid, panglima yang diangkat oleh Abu Bakar semasa kekhalifahannya, setelah Khalid memenangi pertempuran di Damsyik. Abu Ubaidah yang dikirim surat untuk menggantikan Khalid tidak langsung membaca surat tersebut karena Khalid hampir memenangi pertarungan. Meski terjadi kontroversi di antara kaum muslim terhadap pemecatan tersebut, tapi tidak menimbulkan pepecahan yang berarti. Kemenangan yang besar diperoleh.[23]
Dia (Umar) menjalankan tugas kekhalifahan itu dengan sebaik-baiknya. Di masa kekhalifahannya terjadi banyak penaklukan (pembukaan) wilayah-wilayah[24]. Pada masa kekhalifahannya, wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
  Karena luasnya daerah yang dimiliki pemerintahan Islam dan perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan, dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, departemen kepolisian dibentuk. Demikian pula departemen pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait Al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijriah[25].
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia meninggal beberapa hari setelah ditikam beberapa kali oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’luah[26].
Sewaktu Umar kena tikam, beliau tidak bermaksud hendak mengangkat penggantinya. Faktor-faktor yang mendorong Umar seperti Abu Bakar untuk menunjuk penggantinya sudah tidak ada lagi sekarang. Tetapi kaum Muslimin khawatir kalau-kalau terjadi perpecahan setelah Umar meniggal dunia, karena itu mereka mengusulkan agar Umar menunjuk siapa yang akan menjadi penggantinya. Akhirnya, beliau menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah:
·         Utsman ibn Affan.
·         Ali ibn Abi Thalib.
·         Thalhah ibn Ubaidillah.
·         Zubair ibn Awwam.
·         Sa’ad ibn Abi Waqqash.
·         Abdurrahman ibn ‘Auf.
Salah seorang putera beliau yaitu Abdullah ditambahkan beliau kepada sahabat-sahabat yang berenam itu, tetapi dia hanyalah mempunya hak untuk memilih dan tidak berhak untuk dipilih[27].
Dalam penunjukan penggantinya tersebut, Umar menentukan beberapa ketentuan. Ketentuan tersebut yaitu:
·         Apabila mencapai mufakat memilih satu orang, maka orang itu akan ditetapkan sebagai khalifah.
·         Bila lima orang dari mereka telah mufakat memilih seseorang dan yang seorang menolak maka kepalanya segera dipenggal.
·         Apabila empat orang telah mufakat dan dua orang telah menolak maka keduanya harus dibunuh.
·         Apabila terdapat dua bagian sama maka yang menjadi khalifah ialah yang mendapat suara Abdurrahman ibn ‘Auf[28].
Dalam pada itu oleh Umar ditentukan jangka waktu memilih. Pemilihan itu haruslah selesai dalam jangka waktu yang ditentukan[29].
Ibn Sa’ad meriwayatkan dari Anas Dia berkata: Beberapa saat sebelum meninggal, Umar mengirim seseorang untuk menemui Abu Thalha Al-Anshari. Dia berkata, “Panggillah lima puluh orang dari kalangan Anshar dan diamlah kalian bersama orang-orang yang melakukan musyawarah. Sebab saya kira mereka akan berkumpul di sebuah rumah. Jangan kau biarkan seseorang masuk kepada mereka dan jangan biarkan mereka melewati tiga hari hingga di antara mereka ada yang dijadikan sebagai seorang pemimpin”[30].
Setelah Umar wafat, tim tersebut bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib[31].
Menurut Ahmad Syalabi, ada beberapa sebab yang menyebabkan terpilihnya Utsman sebagai khalifah, sebab tersebut yaitu:
·         Kemungkinan menarik kembali jabatan khalifah nanti dari Bani Umaiyah adalah lebih besar, dari pada menariknya kembali dari Bani Hasyim.
·         Orang tidak mau meneruskan cara-cara Umar memerintah yang sangat radikal, keras dan disiplin. Mereka tidak ingin menyerahkan jabatan khalifah kepada Ali, dirasakan bahwa Ali akan melanjutkan cara Umar memerintah, yaitu radikal, keras dan disiplin. Maka, diserahkan kepada Utsman, karena Utsman seorang yang lunak, pemurah dan mempunyai sifat toleransi[32].
Di masa pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini[33].
Pada tahun 35 H, Utsman terbunuh setelah 12 tahun memerintah.
Az-Zuhri berkata: Utsman memangku kekhalifahan selama dua belas tahun. Selama enam tahun pemerintahannya tidak ada seorang pun yang mengatakan kebencian kepadanya. Sebab dia adalah orang yang lebih disenangi oleh orang Quraisy dari pada Umar ibn Khaththab. Sebab Umar sangat keras dan tegas kepada mereka. Tatkala Utsman berkuasa, dia bersikap lunak kepada mereka dan menyambungkan semua hubungan dengan mereka. Namun kemudian setelah dia bersikap lamban dalam menyelesaikan perkara mereka. Lalu dia mengangkat kerabat-kerabat dekatnya pada enam tahun terakhir. Dia memberikan kekuasaan kepada Marwan seperlima dari wilayah Afrika. Dia juga memberikan harta kepada kerabat-kerabatnya dari Baitul Mal. Dia menafsirkan ini sebagai tali silaturrahmi sebagaiman yang Allah perintahkan kepada umat-Nya. Dia berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun saya mengambil apa yang menjadi hak saya, dan saya bagikan kepada saudara-saudara dekatku”. Orang-orang yang ada pada saat itu menyatakan protes. (Riwayat Ibnu Sa’ad)[34].
Salah satu faktor yang menyebabkan rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah yang pada dasarnya menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan keluarganya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri[35].
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah[36].
Setelah Utsman wafat, masyarakat berramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ibnu Sa’ad berkata: Ali dibaiat sebagai khalifah sehari setelah terbunuhnya Utsman di Madinah. Semua sahabat membaiatnya sebagai khalifah. Disebutkan bahwa Thalha dan Zubair membaiatnya dengan sangat terpaksa dan bukan dengan suka rela[37].
Eric Schroeder (dalam Mohammed’s People, terbitan Inggris, 1955), mengatakan, “Lima hari setelah pembunuhan atas khalifah Utsman, rakyat berkumpul dan memutuskan: “Kami tidak mengenal orang yang lebih tepat selain Ali untuk menjadi imam (pemimpin), tetapi ia tidak mau mengambil beban kepemimpinan itu”. Sebagian menjawab, “tekan ia di rumahnya hingga ia menerimanya”. Mereka semua berkumpul di rumah Ali dengan begitu bersemangat sehingga berdesak-desakkan. Mereka memanggil Ali keluar, dan mengatakan: “Apabila kami kembali ke rumah lagi tanpa adanya seorang imam dan khalifah, pergolakan akan menggoncang kita sehingga seorang pun tidak akan tak akan mampu menenangkannya. Anda harus menyetujui untuk menjadi imam dan khalifah kami”. Ali menjawab: “kecil keinginan saya untuk jabatan itu, namun kaum Mukminin harus mempunyai seorang pemimpin, dan dengan senang saya akan menerima wewenang  duniawi untuk seorang lain, Thalha”. “Tidak, anda lebih berhak dari saya”, kata Thalha. Seseorang dengan paksa membuka tangan Ali, dan Thalha membaiatnya, Zubair berbuat serupa dan dari rumahnya Ali dibawa ke masjid lalu setiap orang sekali lagi mendesak ke sekitarnya untuk menyampaikan baiat kepadanya sebagai imam dan khalifah”[38].
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali system distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Banyak pendukung dan kaum kerabat Ali yang menasehatinya supaya menangguhkan tindakkan-tindakan radikal seperti itu sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluiarga Bani Umaiyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangunlah Mu’awiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali[39]
Tidak lama setelah itu, Ali menghadapi pemberontakan Thalha, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalha, Zubair dan Aisyah agar mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya peperangan yang dasyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “Perang Jamal” (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran tersebut menunggangi Unta[40]. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Namun, ia bersedih karena banyaknya kaum Muslimin yang terbunuh akibat perang saudara tersebut terlebih lagi setelah mendengar kematian Thalha dan Zubair. Dalam peperangan tersebut Aisyah selamat dan dikirim kembali oleh Ali ke Madinah dengan kawalan saudaranya, Muhammad ibn Abu Bakar.

Baru saja pemberontakan Thalha dan Zubair tertumpas, Mu’awiyah yang telah memegang jabatan gubernur Syam sejak zaman khalifah Umar, melancarkan pemberontakan yang didukung oleh keluarganya dan sejumlah bekas pejabat yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Setelah selesai menyelesaikan perang Jamal, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin. Perang ini dikenal dengan nama perang Siffin. Perang ini berakhir dengan tahkim (arbitrase), tapi ternyata tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, Al-Khawarij, orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, diujung masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Sy’iah (pengikut) Ali, dan Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya Al-Khawarij menyebabkan tentaranya menjadi lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat[41].
Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota khawarij, setelah enam tahun memerintah.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya, Hasan, selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Disisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolute dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘am jama’ah). Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyiddin dan dimulailah kekusaan Bani Umaiyah dalam sejarah politik Islam[42].   
  



2.      DAULAH UMAIYAH
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis ( kerajaan turun temurun)[43].
Nama “Daulah Umaiyah” itu berasal dari nama “Umaiyah ibn ‘Abdi Syam ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah[44]. Keluarga Bani umaiyah itu terdiri atas dua cabang, merekalah yang memegang jabatan itu. Cabang pertama ialah Harb ibn Umaiyah, dan cabang kedua adalah keluarga Abul ‘Ash ibn Umaiyah. Kebanyakan khalifah-khalifah Bani Umaiyah adalah berasal dari cabang yang kedua itu. Adapun khalifah-khalifah yang berasal dari cabang pertama hanyalah Mu’awiyah, puteranya Yazid, dan cucunya Mu’awiyah II[45].
Pendiri Kekalifahan ini yaitu Mu’awiyah yang ia peroleh kekhalifahan ini dengan cara melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap mengunakan istilah khalifah, namun dia mengunakan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah[46].
Kekalifahan Bani Umaiyah hanya memerintah selama kurang lebih 91 tahun, dengan 14 khalifah, yaitu :
·         Mu’awiyah I ibn Abi Sufyan.
·         Yazid I ibn Mu’awiyah.
·         Mu’awiyah II ibn Yazid.
·         Marwan I ibn Al-Hakam.
·         Abdul Malik ibn Marwan.
·         Al-Walid I ibn Abdul Malik.
·         Sulaiman ibn Abdul Malik.
·         Umar ibn Abdul Aziz[47].
·         Yazid ibn Abdul Malik.
·         Hisyam ibn Abdul Malik.
·         Al-Walid II ibn Yazid.
·         Yazid ibn Al-Walid.
·         Ibrahim ibn Al-Walid.
·         Marwan II ibn Muhammad.
Dari ke-14 khalifah tersebut, hanya lima yang merupakan khalifah-khalifah besar Bani Umaiyah, yaitu Muawiyah 1, Abd Al-Malik ibn Marwan, Walid ibn Abd Al-Malik, Umar ibn Abd Al-Aziz, dan Hasyim ibn Abd Al-Malik.
            Pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, wilayah kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Selatan, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah[48].
            Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umaiyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Mu’awiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah spesialis dibidangnya. Abd Al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan adminidtrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh putranya Al-Walid. Dia membangun panti untuk orang-orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah[49].   
            Meskipun keberhasilan banyak dicapai, politik dalam negeri tidak dapat dikatakan stabil. Mu’awiyah tidak menaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali. Selain itu, banyak pemberontakan-pemberontakan terjadi. Di antaranya pemberontakan yang dilancarkan oleh Ibnu Zubair yang hampir menguasai pemerintahan. Selain itu kaum Syiah melakukan perlawanan akibat dibunuhnya Husein ibn Ali dan juga gerakan-gerakan anarkis yang dilakukan oleh kaum Khawarij.
            Pada masa kekhalifahan Umar ibn Abd Al-Aziz, hubungan pemerintahan dengan golongan opsisi membaik akibat sikap toleransinya yang sangat baik dengan berbagai kalangan. Namun, sepeninggal Umar, kekuatan Bani Umaiyah melemah. Dan setelah kekhalifahan Hisyam ibn abd Al-Malik, pemerintahan daulah Bani Umaiyah semakin melemah akibat sikap para penguasa yang suka berfoya-foya dan juga akibat munculnya suatu kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh kaum mawali yang bahkan menumbangkan kekusaan daulah Bani Umaiyah.
            Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan lemah dan hancurnya kekuasaan Bani Umaiyah. Faktor-faktor tersebut yaitu:
·         Sistem penggantian khalifah melalui garis keturunan merupakan suatu sistem kekusaan yang baru bagi bangsa Arab yang lebih mementingkan aspek senioritas.
·         Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umaiyah tidak dapat dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
·         Pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dengan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing.
·         Sikap hidup mewah dan berfoya-foya kalangan istana yang menyebabkan anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
·         Munculnya kekuatan baru dari keturunan Al-Abbas paman Nabi yang mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim, golongan Syiah  dan kaum Mawali.

3.      DAULAH ABBASIYAH
Daulah Abbasiyah atau khilafah Abbasiyah merupakan daulah pengganti daulah Umaiyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan para penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw[50]. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah (Abu Al-Abbas) Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas, Abu Ja’far Al-Mansur dan Abu Muslim Al-khurasani. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M) dengan 37 khalifah yang memerintah.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode[51]:
·         Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia yang pertama.
·         Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
·         Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan Bani Buwaihi dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Peride ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
·         Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Bani Seljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
·         Priode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada Periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertiggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam[52]. Setelah masa itu kelemahan dan kemunduran mulai dialami. Faktor-faktor yang menyebabkan kelemahan itu antara lain:
·         Luasnya wilayah kekuasaan.
·         Perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
·         Persaingan antar bangsa untuk menguasai pemerintahan.
·         Munculnya dinasti-dinasti kecil yang ingin memisahkan diri.
·         Moral dan gaya hidup para khalifah dan bangsawan yang kurang mementingkan kenegaraan.
·         Kemerosotan ekonomi.
·         Konflik keagamaan.
·         Ancaman dari luar.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, salah satu pendiri daulah ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. karena itu pembina sebenarnya dari daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M), yang terkenal dengan sifatnya yang keras dan tegas dalam pemerintahan. Al-Mansurlah yang telah memantapkan dan meneguhkan kerajaan Abbasiyah, menyusun peraturan-peraturan, membuat undang-undang,dan menciptakan inovasi-inovasi dalam pemerintahan[53].
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Mansur, maka, puncak keemaan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), Al-Watsiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M)[54].
Pada periode Pertama ini wilayah kekuasaan Abbasiyah sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Namun pada periode terakhir dari pemerintahan daulah Abbasiyah, wilayah kekusaannya hanya meliputi kota Bagdad dan sekitarnya.
Pada masa daulah Abbasiyah ini terjadi Perang Salib yang sangat terkenal yang terjadi dalam beberapa gelombang dan periode. Pada dasarnya perang tersebut adalah perang antara pemerintahan Paus di Roma yang ingin memperebutkan Yarussalem dari kekuasaan Islam dengan pemerintahan Islam yang dalam hal ini diwakilkan oleh daulah Abbasiyah yang ingin mempertahankan Yarussalem.
Pada tahun 1258 M, tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan menyerang Bagdad, yang merupakan akhir dari pemerintahan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah.   

4.      DAULAH TURKI UTSMANI
Daulah kerajaan Turki Utsmani berasal dari dari bangsa Turki dari kabilah Oghus yang mendiami daerah mongol dan daerah utara negeri Cina[55]. Garis keturunan Bani Utsmani bersambung pada kabilah Turkmaniyah, yang pada permulaan abad ketujuh Hijriyah atau bertepatan abad ketiga belas Masehi, mendiami Kurdistan[56].
Akibat serangan orang-orang Mongolia di bawah pimpinan Jengis khan ke Irak dan wilayah-wilayah asia kecil, Sulaiman, kakek dari Utsman melakukan hijrah pada tahun 617 H/1220 M[57].
Ketika Urtughril (Ertoghril) menggantikan ayahnya, Sulaiman, sebagai pemimpin kabilahnya, kabilah Oghus diberi sebidang tanah di daerah Anatolia akibat dari dedikasi Urtughril terhadap kerajaan Seljuk.
Pendiri kerajaan ini adalah Ustman ibn Urtughril yang membangun kerajaannya dari kerajaan kecil dibawah naungan kerajaan Turki Seljuk. Pada tahun 699 H (1300 M), Utsman mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Utsmani (raja besar keluarga [kerajaan] Utsman)  setelah diserangnya kerajaan Turki Seljuk oleh bangsa Mongol.
Pada masa Orkhan (726-761 H/1326-1359 M), kerajaan Turki Ustmani dapat menaklukan Azmir, Thawasyanli, Uskandar, Ankara, dan Gallipoli.
Tahun 1389. Koalisi Salibis yang terdiri dari orang-orang Serbia, Bulgaria, Hungaria dan wilayah Walasyi menghimpun pasukan yang terdiri dari 60.000 pasukan untuk menghadang pasukan Utsmani yang dikomandani Lala Syahin. Namun koalisi itu kalah dan melarikan diri.
Pada 1402 M, Timur Lenk, raja Mongol menumpaskan tentara Utsmaniyah di Ankara.tepatnya pada tanggal 20 Juli 1402 M, Timur Lenk bergerak dengan pasukan yang begitu banyaknya, sehingga sultan Bayazid I bin Murad, sultan yang berkuasa kala itu, menjadi tawanan.
Pasca kekalahan itu, pasukan Utsmani mengalami kemunduran. Apalagi ditambah oleh perang saudara putra-putra Bayazid dalam memperebutkan kekuasaan. Perang saudara tersebut terjadi sekitar sepuluh tahun. Yaitu sekitar tahun 1403-1413 M.
Pada 1451 M, sultan Muhammad al-Fatih naik tahta. Dia merupakan sultan Utsmani ketujuh dan terbesar sepanjang sejarah perjalanan dinasti itu. Dia memangku kesultanan pada 18 Februari 1451 M, atau 22 tahun setelah kelahiranya. Ia mendapat gelar al-Fatih karena kegemilangannya dalam menaklukkan Konstantinopel, ibukota kerajaan Romawi. Arti dari al-Fatih sendiri adalah 'pembuka'.
Tahun 1520 M, Sulaiman al-Qanuni dilantik menjadi sultan. Saat itu ia berusia dua puluh enam tahun. Di awal pemerintahannya, ia dihadapkan dengan berbagai cobaan dengan adanya empat pemberontakan sekaligus. Namun, ia berhasil dengan gemilang menghadapi itu semua. Dan bahkan, dia telah membawa kerajaanya menjadi lebih besar dari masa Muhammad Al-Fatih.
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Utsmani mulai memasuki fase kemunduran[58]. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh para sultan di akhir pemerintahan Utsmani telah mendorong pemerintahan Utsmani meluncur deras menuju jurang kehancuran. Akan tetapi, sebagai suatu kerajaan yang besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat[59]. Baru setelah abad ke-18 kemerosotan itu mulai terlihat dengan jelas, dan akhirnya pada awal abad ke-20 M, kerajaan Turki mengalami kejatuhannya.
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Utsmani mengalami kemunduran, di antaranya adalah:
·         Wilayah kekuasaan yang sangat luas.
·         Heterogenitas penduduk.
·         Kelemahan para penguasa.
·         Budaya pungli.
·         Pemberontakan tentara Jenissari.
·         Merosotnya ekonomi.
·         Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi[60].


BIBLIOGARAFI

·         Amin, Husayn Ahmad, Seratus tokoh dalam Sejarah Islam, Cet. VII, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
·         Ash-Shalabi, Dr. Ali Muhammad. 2002. Bangkit dan Runtuhnya khilafah Utsmaniyah. Diterjemahkan oleh Samson Rahman, MA., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
·         Haekal, Moh. Husein, Umar bin Kahattab, diterjemahkan oleh Ali Audah, cet.III, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2002.
·         Haekal, Muhammad Husain, Usman bin Affan, Cet.IV, diterjemahkan oleh Ali Audah. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2006.
·         Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman Al-, Sirah Nabawiyah, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, cet. Ke-19, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
·         Musawi, Sayyid Abul Hasan Ali ibn Husain Ar-Radhi Al-, Nahjul Balagha: kumpulan khotbah, surat dan ucapan Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib(k.w.), diterjemahkan oleh O. Hashem, Bandar Lampung-Jakarta: YAPI, 1990.
·         Saepudin, Didin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.
·         Suyuthi, Imam Al-, Tarikh Khulafa’, Penerjemah: Samson Rahman, Jakarta: pustaka Al-Kautsar, 2006.
·         Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, cet. Ke 3 , Jakarta: Jayamurni, 1973.
·         ______, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latif, cet. Ke 2 , Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992.
·         Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.




[1] Syaikh Shafiyyurrahman Al-mubarakfury, Sirah Nabawiyah, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, cet. Ke-19, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 75.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 16.
[3] Ibid, hlm. 17.
[4] Ibid, hlm. 17
[5] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, cet. Ke 3 , (Jakarta : Jayamurni, 1973), hlm. 57.
[6] Badri Yatim, op. cit., hlm. 17.
[7] Semua putra-putri beliau, selain Ibrahim yang dilahirkan dari Maria Al-Qibthiyah, dilahirkan dari Khadijah. Namun semua putra-putri beliau meninggal selain Fathimah yang meninggal dunia enam bulan setelah beliau meninggal dunia. Putra-putri beliau yaitu: Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Abdullah.
[8] Badri Yatim, op. cit., hlm. 20.
[9] Ibid, hlm. 24.
[10] Ibid, hlm. 24.
[11] Ibid, hlm. 24.
[12] Ibid, hlm. 27.
[13] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 119.
[14] Ibid, hlm. 32.
[15] Ibid, hlm. 33.
[16] Ibid, hlm. 35.
[17] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Penerjemah: Samson Rahman, (Jakarta: pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 74.
[18] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 167.
[19] Imam As-Suyuthi, op. cit., hlm. 93.
[20]Ibid, hlm. 78.
[21] Ibid, hlm. 150.
[22] Ibid, hlm. 150.
[23] Moh. Husein Haekal, Umar bin Kahattab, diterjemahkan oleh Ali Audah, cet.III, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2002). Hal: 142.
                [24] Imam As-suyuthi, op. cit., hlm. 151.          
[25] Badri Yatim, op. cit., hlm. 37-38.
[26] Ia adalah seorang bangsa Persia, Dia ditawan oleh tentara Islam sewaktu peperangan di Nahawand, dan kemudian menjadi hamba sahaya dari Mughirah ibn Syu’bah. Setelah membunuh Umar, ia bunuh diri dengan menggunakan pedang yang ia gunakan sewaktu membunuh Umar.
[27]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 191.
[28] Sayyid Abul Hasan Ali ibn Husain Ar-Radhi Al-Musawi, Nahjul Balagha: kumpulan khotbah, surat dan ucapan Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib(k.w.), diterjemahkan oleh O. Hashem, (Bandar Lampung-Jakarta: YAPI, 1990), hlm. 55.
[29] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm.191.
[30] Imam As-Suyuthi, op. cit., hlm.177.
[31] Badri Yatim, op.cit., hlm.38.
[32] Ahmad Syalabi op. cit., hlm. 195.
[33] Badri Yatim, op. cit., hlm.38.
[34] Imam As-Suyuthi, , hlm.180-181.
[35] Badri Yatim, op.cit., hlm. 38-39.
[36] Ibid, hlm. 39.
[37] Imam As-Suyuthi, op. cit., hlm. 201-202.
[38] Sayyid Abul Hasan Ali ibn Husain Ar-Radhi Al-Musawi, op. cit., hlm. 58.
[39] Ahmad Syalabi op. cit., hlm. 203.
[40] Badri Yatim, op.cit., hlm. 40.
[41] Ibid, hlm. 40.
[42] Ibid, hlm. 40-41.
[43] Ibid, hlm. 42.
[44] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latif, cet. Ke 2 , (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992), hlm. 24
[45] Ibid, hlm. 28.
[46] Ahmad Syalabi, op.cit 2. , hlm. 42.
[47] Dia disebut juga sebagai Umar ke-2 dan telah disepakati ileh sebagian besar ulama sebagai Khalifah Rasyidin ke-5. Sufyan Ats-Tsauri berkata: “ para Khalifah (Rasyiddin) itu ada lima: Abu Bakar, Umar ibn Al-Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Abdul Aziz.” (diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya).
[48] Badri Yatim, op.cit., hlm. 44.
[49] Ibid, hlm. 44-45.
[50] Ibid, hlm. 49.
[51] Ibid, hlm. 49-50.
[52] Ibid, hlm. 50.
[53] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hlm. 71.
[54] Badri Yatim, op.cit., hlm. 52.
[55] Ibid, hlm. 129.
[56] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, diterjemahkan oleh Samson Rahman, MA., (Jakarta: Al-Kautsar, 2003), hlm. 41.
[57] Ibid, hlm. 41.
[58] Badri Yatim, op.cit., hlm. 163.
[59] Ibid, hlm. 163.
[60] Ibid, hlm. 167-168.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar