Menyebut
nama Frithjof Schuon
selalu dikaitkan dengan gagasannya yang tertuang dalam buku fenomenalnya: ‘The
Transcendent Unity Of Religions’. Sebuah buku yang dijadikan rujukan
layaknya kitab suci oleh para penganut faham pluralisme agama.
Pluralisme
adalah sebuah faham tentang pluralitas. Sedang Pluralisme Agama adalah jalan
kepercayaan yang berbeda menuju kesempurnaan yang sama. Tak ada satu agama pun
yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar. Klaim kebenaran
atas agama merupakan sumber konflik antar umat beragama yang akan melahirkan
sikap anti pluralitas dan anti toleransi. Frithjof Schuon adalah salah satu
tokoh yang dianggap ‘Nabi’-nya para kaum pluralis.
B. Biografi
Frithjof Schuon
Schuon
lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan Jerman. Sedangkan
ibunya berasal dari ras Alsatia, salah satu suku di Perancis. Hingga usia 13
tahun, Schuon tinggal dan sekolah di Basel. Setelah Ayahnya meninggal, karena
alasan ekonomi, sang ibu membawa Schuon dan saudaranya kembali ke rumah
keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, ia menjadi penduduk dan warga
Negara Perancis.
Pindahnya
Schuon ke Mulhouse, menyebabkannya sejak dini sudah menguasai dua bahasa, yaitu
bahasa Jerman dan Perancis. Pada usia 16 tahun, Schuon meninggalkan bangku
sekolah untuk bekerja sebagai desainer tekstil. Sebagai remaja, ia sangat suka
menggambar dan melukis, meskipun tidak pernah mendapat pendidikan formal di
bidang seni. Di Mulhouse pula, berbagai karya klasik dari Timur seperti
Upanishad, Bhagavad-Gita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya.
Selain itu, ia juga mendalami gagasan Plato dan Rene Guenon[1]. Dua orang ilmuan yang
ikut memberi dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran Schuon nantinya.
Setelah
menjalani wajib militer di Perancis selama satu tahun setengah, Schuon pergi ke
Paris. Di sana, ia mulai belajar bahasa Arab di masjid. Kemudian pada tahun
1932, untuk pertama kalinya ia berkunjung ke Aljazair. Ia berkunjung ke
Aljazair karena mendapat rekomendasi seorang Darwis (sufi) di Perancis. ”Jika
kau ingin belajar sufisme, datanglah ke Aljazair,” begitu kira-kira saran dan
rekomendasi sang Darwis. Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada
dirinya. Ia mulai tertarik dengan sufisme. Ia menjadi murid seorang tokoh sufi
di sana yaitu Syaikh Akhmad al ‘Alawi (1869-1934). Syaikh Akhmad adalah seorang
wali qutub sufi abad ke-20. Tiga tahun kemudian, Schuon berkunjung lagi untuk
kedua kalinya ke Afrika Utara, Aljazair dan Moroko. Kemudian pada tahun 1938,
dalam perjalanannya ke India, ia singgah di Kairo. Di sana, Schuon akhirnya
bertemu dengan Guenon, setelah sebelumnya berkorespondensi selama kurang lebih
20 tahun.
Pada
tahun 1939, ketika baru tiba di India, perang Dunia Kedua meletus. Hal ini
menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk ikut perang. Setelah beberapa
bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika ia mengetahui
rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman, karena ras
ibunya adalah Alsatia, ia mencari suaka politik di Swiss. Schuon mendapat
status warga Negara Swiss dan menetap di sana selama 40 tahun.
Pada
usia 42 tahun (1949), Schuon melangsungkan perkawinannya di Lausanne, Jerman.
Istrinya seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman. Sepasang suami istri tersebut
mempunyai cita rasa sama untuk mendalami prinsip metafisika tradisional. Di
Lausanne, Schuon banyak menulis berbagai karyanya.
Pada
tahun 1959, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan
teman-temannya dari suku Indian Sioux dan Crow. Di sana, ia mendalami agama dan
ritual (kepercayaan) suku Indian. Pengetahuan awal tentang suku Indian, berawal
dari kekaguman neneknya tentang kearifan lokal (local wisdom) suku Indian.
Sejak kecil, Schuon sering diceritakan kehidupan spiritual, kesederhanaan, dan
kebijaksanan suku Indian. Cerita neneknya tersebut merasuk ke dalam bawah sadar
Schuon, hingga pada akhirnya, ia membangun relasi dengan tokoh-tokoh Indian
Sioux dan Crow. Dengan ditemani dua suku Indian tersebut, Schuon beserta
istrinya mengunjungi berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan
tradisi “suci” mereka. Bukan hanya itu, Schuon dan istrinya juga diangkat
menjadi keluarga James Red Cloud dari suku Sioux pada tahun 1959. Beberapa
tahun kemudian, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga suku Crow. Schuon
melukis dan merefleksikan pengamatannya terhadap suku-suku Indian tersebut di
dalam bukunya berjudul The Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy
(1990).
Pada
tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap di
Indiana dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Schuon meninggal di
Bloomington pada tahun 1998. Dalam tulis menulis, Frithjof Schuon dikenal juga
sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.
C.
Pemikiran
Frithjof Schuon
Menurut perspektif Frithjof Schuon, intisari agama adalah “a common
ground” meski hukum, dogma, ritual dari agama-agama tersebut berbeda.
Schuon memaparkan teori bahwa dalam ego manusia terdapat entitas: badan (body),
otak (brain) dan hati (heart), yang masing-masing
diasosiasikan pada fisik, fikiran dan intelek. Bila dihubungkan dengan
realitas, intelek bisa diasosiasikan dengan esensi Tuhan dan langit. Fikiran
dan badan di bawah kendali intelek. Hal ini lebih disebabkan karena intelek
adalah the centre of human being yang berada dalam hati. Di dunia
fisik, intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body).
Melalui intuisi manusia berusaha memahami kebenaran, sedang intelek dasar dari
intuisi.
Schuon
mengakui bahwa ada satu realitas yang absolut, transenden, dan tidak dapat
dicapai melalui panca indera. Ia berada di balik ruang dan waktu. Namun, dapat
diketahui dengan intelek murni, yang dapat membuatNya hadir dalam diri kita. Ia
bersifat mutlak, yang memunculkan dimensi kesementaraan dan relativitas agar
dapat menyadari misteri pemancarannya. Ini berarti, Tuhan ingin dikenal tidak
hanya dalam dirinya sendiri, tetapi ‘dari luar dirinya’ dan dimulai dari ‘yang
lain dari Dia.’ Semua itu adalah substansi dasar dari Ketuhanan yang meliputi
segala sesuatu. Dengan demikian, intelegensia manusia—karena ia mampu mencapai
esensi dan totalitas—dalam substansinya terdapat dua mental mengenai Sophia
perennis, yaitu realitas absolut yang secara definif menjadi kebajikan paling
besar.
Dalam pandangan Schuon, Shopia Perennis adalah ”to know the total Truth and, consequently, to will the Good and love Beauty; and this in conformity to this Truth, hence with full awareness of the reasons for doing so.” Sophia Perennis adalah filsafat untuk mengetahui kebenaran absolute, sebagai konsekuensi untuk menginginkan kebaikan dan mencintai keindahan. Dan, kesepahaman kebenaran ini dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melaksanakannya.
Dalam pandangan Schuon, Shopia Perennis adalah ”to know the total Truth and, consequently, to will the Good and love Beauty; and this in conformity to this Truth, hence with full awareness of the reasons for doing so.” Sophia Perennis adalah filsafat untuk mengetahui kebenaran absolute, sebagai konsekuensi untuk menginginkan kebaikan dan mencintai keindahan. Dan, kesepahaman kebenaran ini dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melaksanakannya.
Schuon
berargumen di dalam agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik yang bisa
digali lewat intelektualitas.
Dari
pengembaraan spiritual dan intelektualnya, Schuon menemukan bahwa dalam
kesadaran purbanya, manusia senantiasa akan merindukan Dia yang Absolut.
NamaNya bisa ditemukan dalam setiap bahasa, namun seringkali samar oleh
berbagai ritual manusia dalam memujaNya. Itulah yang disebut Schuon sebagai
dimensi Eksoterik. Yaitu sisi agama di mana ritual, dogma, ajaran dan tradisi
yang membedakan agama satu dengan lainnya. Sementara, inti dari agama itu
sendiri adalah dimensi Esoteris. Yaitu inti spiritualisme untuk menemukan Dia
Yang Abadi.
Agama-agama
bertemu pada level esoterik bukan eksoterik. Eksoterik adalah aspek eksternal,
dogmatis, ritual, etika dan moral suatu agama. Eksoterik berada pada maya,
kosmos yang tercipta. Menurut paradigma eksoterik, Tuhan dipersepsikan sebagai
Pencipta dan Pembuat Hukum bukan sebagai Esensi. Sejatinya Eksoterik berada
dalam maya yang relatif dalam hubungannya dengan atma. Frithjof Schuon
memaparkan gagasannya bahwa falsafah eksoterik mempunyai keharusan mutlak bagi
keselamatan individu. Inti dari eksoterik adalah kepercayaan pada dogma
eksklusifistik dan kepatuhan pada hukum ritual dan moral. Eksoterisme muncul
dari Tuhan. Esoterik adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Melalui
esoterisme manusia menemukan dirinya yang benar, yang diimplikasikan dengan
nilai-nilai ketuhanan. Esensi dari esoterisme adalah kebenaran total yang tidak
teredusir pada eksoterisme yang mempunyai keterbatasan.
Pandangan
Schuon tentang formulasi kesamaan agama dalam level esoterik adalah hasil
interaksi dengan para tokoh freemasonry dan theosofi yamg merelevansikan agama
mistis, yahudi dan hikmah kuno ke zaman modern.
Ajaran
Schuon dikembangkan hingga mendapatkan pengakuan ilmiah yang setaraf dengan
filsafat modern oleh Sayyed Hossen Nasr[2]
dalam karyanya: Knowledge and the sacred. Dalam buku Islam and the
perennial philosophy, Schuon melukiskan kenyataan sejarah bahwa St.
John dari Damaskus membela agamanya dengan tegar meski memegang tampuk
jabatan dalam kekhalifahan Umawiyah.
Kesimpulan
dari hal ini menunjukkan bahwa yang mutlak atau absolut baik dalam Islam maupun
agama lainnya adalah dimensi esoterik, sedangkan dimensi eksoterik harus
relatif berkoeksistensi dengan agama besar yang lain.
Dalam
kata pengantar buku The Transcendent Unity of Religions karya Frithjof Schuon
(1975), Huston Smith mengatakan bahwa, “…Bagi Frithjof Schuon, hidup ini ada
tingkat-tingkatannya (the great chain of being). Hirarki eksistensi ini, mulai
dari Tuhan yang menempati peringkat tertinggi, sampai manusia dan atau
benda-benda mati pada peringkat terendah. Nah, dari segi metafisik, hanya pada
Tuhanlah terdapat titik temu berbagai agama. Sedang di tingkat bawahnya,
agama-agama itu saling berbeda. Sehubungan dengan realitas metafisik ini, dari
segi epistemologis dapat pula dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu
dengan agama yang lain, semakin mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi,
sedangkan di tingkat bawahnya, berbagai agama itu terpecah belah.”
Filosofi ini mengispirasi bapak Pluralisme agama: Nurcholish Majid
dalam memaparkan gagasannya. Ibarat roda, pusat roda adalah Tuhan dan
jari-jarinya adalah jalan berbagai agama. Oleh sebab itu satu agama berbeda
dengan yang lain pada level eksoterik, relatif sama pada level esoterik. Bisa
diartikan satu Tuhan banyak jalan.
D.
Karya-karya
Frithjof Schuon
Walaupun
Schuon tidak bersekolah secara formal, ia tergolong penulis yang produktif. Di
antara buku-bukunya yang terkenal antara lain; Adastra & Stella Maris:
Poems by Frithjof Schuon (2004), Art from the Sacred to the Profane: East and
West, (2007), Autumn Leaves & The Ring: Poems by Frithjof Schuon,
Christianity/Islam: Perspectives on Esoteric Ecumenism, (1985), Echoes of
Perennial Wisdom, (1992), The Essential Frithjof Schuon, (2005), The Eye of the
Heart: Metaphysics, Cosmology, Spiritual Life (1997), The Feathered Sun: Plains
Indians in Art and Philosophy (1990), Form and Substance in the Religions
(2002), From the Divine to the Human (1982), The Fullness of God: Frithjof
Schuon on Christianity (2004), The Garland (1982), Gnosis: Divine Wisdom
(2006), Images of Primordial and Mystic Beauty: Paintings by Frithjof Schuon
(1992), In the Face of the Absolute (1989), Language of the Self (1999), Light
on the Ancient Worlds (2006), Logic and Transcendence (2009), The Play of Masks
(1992), Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on the Spiritual Life, edited by
James S. Cutsinger (2005), Road to the Heart: Poems (1995), Roots of the Human
Condition (1991), Songs for a Spiritual Traveler: Selected Poems (2002), Songs
without Names, Volumes I-VI: Poems (2007), Songs without Names, Volumes VII-XII:
Poems (2007), Spiritual Perspectives and Human Facts (2007), Stations of Wisdom
(1995), Sufism: Veil and Quintessence (2007), Survey of Metaphysics and
Esoterism (1986), To Have a Center (1990), The Transfiguration of Man (1995),
Treasures of Buddhism (1993), Understanding Islam (1994), World Wheel, Volumes
I-III: Poems (2007), World Wheel, Volumes IV-VII: Poems (2007).
E.
Daftar
Pustaka
[1]
Tatkala menginjak
usia 16 th, Schuon telah melalap karya Rene Guenon sang
pelopor Filsafat Abadi: “Orient et Occident”, selain mengkaji
karya-karya Plato. Lantaran terobsesi oleh pemikiran Rene
Guenon, ia memberanikan diri berkorespondensi dengan tokoh panutannya tersebut
selama hampir 20 tahun lamanya.
Rene
Guenon ternyata adalah murid dari Gerard Encausse yang lebih
dikenal dengan sebutan Papus, seorang Freemason yang mendirikan “Free
School Of Hermetic Scienes” yang mengkaji ilmu mistis. Lewat ajaran Rene
Guenon yang aktif menggelar seminar, konggres, diskusi tentang mistis dan
freemasonry di Paris. Frithjof Schuon menjadi mahfum tentang hikmah tradisional,
simbolisme, ritual dan kebenaran abadi yang terkandung pada tradisi agama.
[2]
Seyyed Hossein Nasr dalam
Knowledge and the Sacred (1989), memaparkan wacana-wacana metafisik yang
mempertemukan agama-agama dan tradisi spiritual yang otentik pada satu titik
kesatuan transenden. Yakni, Tuhan, yang dicari (umat beragama) melalui beragam
agama (sebagai jalan-jalan menuju Tuhan). Inilah inti dasar perspektif filsafat
perennial. Maka, bila disebut perennial religion (agama dan atau tradisi
perennial), maksudnya adalah ada hakikat yang sama dalam setiap agama. Rumusan
filosofisnya: the heart of religion is the religion of heart. Inilah wilayah
terdalam dari setiap agama. Artinya, terdapat substansi yang sama dalam
agama-agama, meskipun terbungkus dalam bentuk yang berbeda. Maka, bisa
dirumuskan secara filosofis bahwa substansi agama itu satu. Tetapi, bentuknya
beraneka ragam. Ada (agama) Yahudi, Kristen, Islam dan seterusnya. Perumusan
ini, menjadikan filsafat perennial memasuki wilayah jantungnya agama-agama,
yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam bentuk (wadah,
jalan) yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar