Senin, 15 Desember 2014

Pemikiran Frithjof Schuon

A.                            Pendahuluan
Menyebut nama Frithjof Schuon selalu dikaitkan dengan gagasannya yang tertuang dalam buku fenomenalnya: ‘The Transcendent Unity Of Religions’. Sebuah buku yang dijadikan rujukan layaknya kitab suci oleh para penganut faham pluralisme agama.
Pluralisme adalah sebuah faham tentang pluralitas. Sedang Pluralisme Agama adalah jalan kepercayaan yang berbeda menuju kesempurnaan yang sama. Tak ada satu agama pun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar. Klaim kebenaran atas agama merupakan sumber konflik antar umat beragama yang akan melahirkan sikap anti pluralitas dan anti toleransi. Frithjof Schuon adalah salah satu tokoh yang dianggap ‘Nabi’-nya para kaum pluralis.


B.                            Biografi Frithjof Schuon
Schuon lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan Jerman. Sedangkan ibunya berasal dari ras Alsatia, salah satu suku di Perancis. Hingga usia 13 tahun, Schuon tinggal dan sekolah di Basel. Setelah Ayahnya meninggal, karena alasan ekonomi, sang ibu membawa Schuon dan saudaranya kembali ke rumah keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, ia menjadi penduduk dan warga Negara Perancis.
Pindahnya Schuon ke Mulhouse, menyebabkannya sejak dini sudah menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Jerman dan Perancis. Pada usia 16 tahun, Schuon meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja sebagai desainer tekstil. Sebagai remaja, ia sangat suka menggambar dan melukis, meskipun tidak pernah mendapat pendidikan formal di bidang seni. Di Mulhouse pula, berbagai karya klasik dari Timur seperti Upanishad, Bhagavad-Gita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya. Selain itu, ia juga mendalami gagasan Plato dan Rene Guenon[1]. Dua orang ilmuan yang ikut memberi dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran Schuon nantinya.
Setelah menjalani wajib militer di Perancis selama satu tahun setengah, Schuon pergi ke Paris. Di sana, ia mulai belajar bahasa Arab di masjid. Kemudian pada tahun 1932, untuk pertama kalinya ia berkunjung ke Aljazair. Ia berkunjung ke Aljazair karena mendapat rekomendasi seorang Darwis (sufi) di Perancis. ”Jika kau ingin belajar sufisme, datanglah ke Aljazair,” begitu kira-kira saran dan rekomendasi sang Darwis. Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada dirinya. Ia mulai tertarik dengan sufisme. Ia menjadi murid seorang tokoh sufi di sana yaitu Syaikh Akhmad al ‘Alawi (1869-1934). Syaikh Akhmad adalah seorang wali qutub sufi abad ke-20. Tiga tahun kemudian, Schuon berkunjung lagi untuk kedua kalinya ke Afrika Utara, Aljazair dan Moroko. Kemudian pada tahun 1938, dalam perjalanannya ke India, ia singgah di Kairo. Di sana, Schuon akhirnya bertemu dengan Guenon, setelah sebelumnya berkorespondensi selama kurang lebih 20 tahun.
Pada tahun 1939, ketika baru tiba di India, perang Dunia Kedua meletus. Hal ini menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk ikut perang. Setelah beberapa bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika ia mengetahui rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman, karena ras ibunya adalah Alsatia, ia mencari suaka politik di Swiss. Schuon mendapat status warga Negara Swiss dan menetap di sana selama 40 tahun.
Pada usia 42 tahun (1949), Schuon melangsungkan perkawinannya di Lausanne, Jerman. Istrinya seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman. Sepasang suami istri tersebut mempunyai cita rasa sama untuk mendalami prinsip metafisika tradisional. Di Lausanne, Schuon banyak menulis berbagai karyanya.
Pada tahun 1959, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman-temannya dari suku Indian Sioux dan Crow. Di sana, ia mendalami agama dan ritual (kepercayaan) suku Indian. Pengetahuan awal tentang suku Indian, berawal dari kekaguman neneknya tentang kearifan lokal (local wisdom) suku Indian. Sejak kecil, Schuon sering diceritakan kehidupan spiritual, kesederhanaan, dan kebijaksanan suku Indian. Cerita neneknya tersebut merasuk ke dalam bawah sadar Schuon, hingga pada akhirnya, ia membangun relasi dengan tokoh-tokoh Indian Sioux dan Crow. Dengan ditemani dua suku Indian tersebut, Schuon beserta istrinya mengunjungi berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan tradisi “suci” mereka. Bukan hanya itu, Schuon dan istrinya juga diangkat menjadi keluarga James Red Cloud dari suku Sioux pada tahun 1959. Beberapa tahun kemudian, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga suku Crow. Schuon melukis dan merefleksikan pengamatannya terhadap suku-suku Indian tersebut di dalam bukunya berjudul The Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990).
Pada tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap di Indiana dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Schuon meninggal di Bloomington pada tahun 1998. Dalam tulis menulis, Frithjof Schuon dikenal juga sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.

C.                            Pemikiran Frithjof Schuon
Menurut perspektif Frithjof Schuon, intisari agama adalah “a common ground” meski hukum, dogma, ritual dari agama-agama tersebut berbeda. Schuon memaparkan teori bahwa dalam ego manusia terdapat entitas: badan (body), otak (brain) dan hati (heart), yang masing-masing diasosiasikan pada fisik, fikiran dan intelek. Bila dihubungkan dengan realitas, intelek bisa diasosiasikan dengan esensi Tuhan dan langit. Fikiran dan badan di bawah kendali intelek. Hal ini lebih disebabkan karena intelek adalah the centre of human being yang berada dalam hati. Di dunia fisik, intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Melalui intuisi manusia berusaha memahami kebenaran, sedang intelek dasar dari intuisi.
Schuon mengakui bahwa ada satu realitas yang absolut, transenden, dan tidak dapat dicapai melalui panca indera. Ia berada di balik ruang dan waktu. Namun, dapat diketahui dengan intelek murni, yang dapat membuatNya hadir dalam diri kita. Ia bersifat mutlak, yang memunculkan dimensi kesementaraan dan relativitas agar dapat menyadari misteri pemancarannya. Ini berarti, Tuhan ingin dikenal tidak hanya dalam dirinya sendiri, tetapi ‘dari luar dirinya’ dan dimulai dari ‘yang lain dari Dia.’ Semua itu adalah substansi dasar dari Ketuhanan yang meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, intelegensia manusia—karena ia mampu mencapai esensi dan totalitas—dalam substansinya terdapat dua mental mengenai Sophia perennis, yaitu realitas absolut yang secara definif menjadi kebajikan paling besar.
Dalam pandangan Schuon, Shopia Perennis adalah ”to know the total Truth and, consequently, to will the Good and love Beauty; and this in conformity to this Truth, hence with full awareness of the reasons for doing so.” Sophia Perennis adalah filsafat untuk mengetahui kebenaran absolute, sebagai konsekuensi untuk menginginkan kebaikan dan mencintai keindahan. Dan, kesepahaman kebenaran ini dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melaksanakannya.
Schuon berargumen di dalam agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik yang bisa digali lewat intelektualitas.
Dari pengembaraan spiritual dan intelektualnya, Schuon menemukan bahwa dalam kesadaran purbanya, manusia senantiasa akan merindukan Dia yang Absolut. NamaNya bisa ditemukan dalam setiap bahasa, namun seringkali samar oleh berbagai ritual manusia dalam memujaNya. Itulah yang disebut Schuon sebagai dimensi Eksoterik. Yaitu sisi agama di mana ritual, dogma, ajaran dan tradisi yang membedakan agama satu dengan lainnya. Sementara, inti dari agama itu sendiri adalah dimensi Esoteris. Yaitu inti spiritualisme untuk menemukan Dia Yang Abadi.
Agama-agama bertemu pada level esoterik bukan eksoterik. Eksoterik adalah aspek eksternal, dogmatis, ritual, etika dan moral suatu agama. Eksoterik berada pada maya, kosmos yang tercipta. Menurut paradigma eksoterik, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan sebagai Esensi. Sejatinya Eksoterik berada dalam maya yang relatif dalam hubungannya dengan atma. Frithjof Schuon memaparkan gagasannya bahwa falsafah eksoterik mempunyai keharusan mutlak bagi keselamatan individu. Inti dari eksoterik adalah kepercayaan pada dogma eksklusifistik dan kepatuhan pada hukum ritual dan moral. Eksoterisme muncul dari Tuhan. Esoterik adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Melalui esoterisme manusia menemukan dirinya yang benar, yang diimplikasikan dengan nilai-nilai ketuhanan. Esensi dari esoterisme adalah kebenaran total yang tidak teredusir pada eksoterisme yang mempunyai keterbatasan.
Pandangan Schuon tentang formulasi kesamaan agama dalam level esoterik adalah hasil interaksi dengan para tokoh freemasonry dan theosofi yamg merelevansikan agama mistis, yahudi dan hikmah kuno ke zaman modern.
Ajaran Schuon dikembangkan hingga mendapatkan pengakuan ilmiah yang setaraf dengan filsafat modern oleh Sayyed Hossen Nasr[2] dalam karyanya: Knowledge and the sacred. Dalam buku Islam and the perennial philosophy, Schuon melukiskan kenyataan sejarah bahwa St. John dari Damaskus membela agamanya dengan tegar meski memegang tampuk jabatan dalam kekhalifahan Umawiyah.
Kesimpulan dari hal ini menunjukkan bahwa yang mutlak atau absolut baik dalam Islam maupun agama lainnya adalah dimensi esoterik, sedangkan dimensi eksoterik harus relatif berkoeksistensi dengan agama besar yang lain.
Dalam kata pengantar buku The Transcendent Unity of Religions karya Frithjof Schuon (1975), Huston Smith mengatakan bahwa, “…Bagi Frithjof Schuon, hidup ini ada tingkat-tingkatannya (the great chain of being). Hirarki eksistensi ini, mulai dari Tuhan yang menempati peringkat tertinggi, sampai manusia dan atau benda-benda mati pada peringkat terendah. Nah, dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah terdapat titik temu berbagai agama. Sedang di tingkat bawahnya, agama-agama itu saling berbeda. Sehubungan dengan realitas metafisik ini, dari segi epistemologis dapat pula dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain, semakin mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya, berbagai agama itu terpecah belah.”
Filosofi ini mengispirasi bapak Pluralisme agama: Nurcholish Majid dalam memaparkan gagasannya. Ibarat roda, pusat roda adalah Tuhan dan jari-jarinya adalah jalan berbagai agama. Oleh sebab itu satu agama berbeda dengan yang lain pada level eksoterik, relatif sama pada level esoterik. Bisa diartikan satu Tuhan banyak jalan.


D.                            Karya-karya Frithjof Schuon
Walaupun Schuon tidak bersekolah secara formal, ia tergolong penulis yang produktif. Di antara buku-bukunya yang terkenal antara lain; Adastra & Stella Maris: Poems by Frithjof Schuon (2004), Art from the Sacred to the Profane: East and West, (2007), Autumn Leaves & The Ring: Poems by Frithjof Schuon, Christianity/Islam: Perspectives on Esoteric Ecumenism, (1985), Echoes of Perennial Wisdom, (1992), The Essential Frithjof Schuon, (2005), The Eye of the Heart: Metaphysics, Cosmology, Spiritual Life (1997), The Feathered Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990), Form and Substance in the Religions (2002), From the Divine to the Human (1982), The Fullness of God: Frithjof Schuon on Christianity (2004), The Garland (1982), Gnosis: Divine Wisdom (2006), Images of Primordial and Mystic Beauty: Paintings by Frithjof Schuon (1992), In the Face of the Absolute (1989), Language of the Self (1999), Light on the Ancient Worlds (2006), Logic and Transcendence (2009), The Play of Masks (1992), Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on the Spiritual Life, edited by James S. Cutsinger (2005), Road to the Heart: Poems (1995), Roots of the Human Condition (1991), Songs for a Spiritual Traveler: Selected Poems (2002), Songs without Names, Volumes I-VI: Poems (2007), Songs without Names, Volumes VII-XII: Poems (2007), Spiritual Perspectives and Human Facts (2007), Stations of Wisdom (1995), Sufism: Veil and Quintessence (2007), Survey of Metaphysics and Esoterism (1986), To Have a Center (1990), The Transfiguration of Man (1995), Treasures of Buddhism (1993), Understanding Islam (1994), World Wheel, Volumes I-III: Poems (2007), World Wheel, Volumes IV-VII: Poems (2007).

E.                             Daftar Pustaka




                [1] Tatkala menginjak usia 16 th, Schuon telah melalap karya Rene Guenon sang pelopor Filsafat Abadi: “Orient et Occident”, selain mengkaji karya-karya Plato. Lantaran terobsesi oleh pemikiran Rene Guenon, ia memberanikan diri berkorespondensi dengan tokoh panutannya tersebut selama hampir 20 tahun lamanya.
                Rene Guenon ternyata adalah murid dari Gerard Encausse yang lebih dikenal dengan sebutan Papus, seorang Freemason yang mendirikan “Free School Of Hermetic Scienes” yang mengkaji ilmu mistis. Lewat ajaran Rene Guenon yang aktif menggelar seminar, konggres, diskusi tentang mistis dan freemasonry di Paris. Frithjof Schuon menjadi mahfum tentang hikmah tradisional, simbolisme, ritual dan kebenaran abadi yang terkandung pada tradisi agama.

                [2] Seyyed Hossein Nasr dalam Knowledge and the Sacred (1989), memaparkan wacana-wacana metafisik yang mempertemukan agama-agama dan tradisi spiritual yang otentik pada satu titik kesatuan transenden. Yakni, Tuhan, yang dicari (umat beragama) melalui beragam agama (sebagai jalan-jalan menuju Tuhan). Inilah inti dasar perspektif filsafat perennial. Maka, bila disebut perennial religion (agama dan atau tradisi perennial), maksudnya adalah ada hakikat yang sama dalam setiap agama. Rumusan filosofisnya: the heart of religion is the religion of heart. Inilah wilayah terdalam dari setiap agama. Artinya, terdapat substansi yang sama dalam agama-agama, meskipun terbungkus dalam bentuk yang berbeda. Maka, bisa dirumuskan secara filosofis bahwa substansi agama itu satu. Tetapi, bentuknya beraneka ragam. Ada (agama) Yahudi, Kristen, Islam dan seterusnya. Perumusan ini, menjadikan filsafat perennial memasuki wilayah jantungnya agama-agama, yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam bentuk (wadah, jalan) yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar