Senin, 22 Desember 2014

Jaringan Ulama Jawi; Pembentukan Komunitas dan Karakteristik Jaringan

Semenjak membaiknya kondisi sosial politik dan lingkungan di Haramayn, dalam kondisi abad ke-16 jumlah Muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia terus semakin mengalami kemajuan. Tetapi, jelas tidak semua mereka yang datang ke Tanah Suci merupakan ulama atau penuntut ilmu. Kebanyakan mereka, pada kenyataannya adalah jamaah haji biasa, yang ingin memenuhi kewajiban berhaji. Mereka ini biasanya kembali ke negeri asal mereka setelah melaksanakan ibadah haji di Makkah dan mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Nabi di Madinah.
Namun demikian, terdapat sejumlah Muslim yang datang ke Haramayn tidak hanya untuk menunaikan haji, tetapi juga guna memenuhi tujuan-tujuan lain seperti memperoleh ilmu atau mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci. Sebagian bahkan datang untuk berdagang. Mereka ini berpindah, apakah pemanen atau sementara, ke wilayah Tanah Suci. Mengutip pendapat Voll dalam Jaringan Ulamanya Azra tentang pembagian imigran Asia Selatan di Haramayn dalam abad ke-17 dan ke-18, menurutnya ada tiga model atau kategori mengenai para pendatang atau imigran dan tujuan mereka.[1]
Tipe pertama adalah mereka yang disebut Voll sebagai little imigrants; yakni, orang-orang yang datang dan bermukim di Haramayn, dengan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan setempat. Dapat dengan aman diasumsikan, imigran jenis ini mulanya datang untuk menunaikan haji, tetapi belakangan – apakah karena ingin melayani tempat-tempat suci atau karena tidak punya biaya pulang – memutuskan menetap di Haramayn. Mereka ini hidup sebagai penduduk biasa, dan tidak harus merupakan ulama. Kebanyakan mereka biasanya tidak terekam dalam kamus biografi. Tetapi terdapat sejumlah pengecualian, seperti Sa’id bin Yusuf al-Hindi, seorang farrasy, pembentang tikar di al-Masjid al-Nabawi, atau Rayhan al-Hindi yang mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci; dia mewakafkan hampir seluruh hartanya untuk membangun sarana-sarana umum di Madinah. Tidak ada indikasi bahwa mereka merupakan ulama yang memainkan peranan dalam jaringan ulama.[2]
Tipe kedua adalah  grand immigrants. Berbeda dengan imigran jenis pertama, grand immigrants adalah ulama par excellence. Kebanyakan imigran kategori ini telah mempunyai dasar yang baik dalam kehidupan Islam. Sebagian mereka sangat ‘alim dan terkenal apakah di negara asal mereka atau di pusat-pusat keilmuan lain. Karenanya, ketika sampai di Haramayn, mereka telah qualified untuk ambil bagian dalam diskursus intelektual kosmopolitan. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran aktif tidak hanya dalam pengajaran, tetapi juga dalam menyodorkan gagasan-gagasan baru. Berkat kealiman dan kesalehan mereka, grand immigrants mampu menarik penuntut ilmu dari berbagai penjuru Dunia Muslim. Tidak sulit menemukan sebagian mereka yang mampu mencapai keterkemukaan tidak hanya dalam diskursus religio- intelektual, tetapi juga dalam kancah sosial-politik. Seperti kita lihat nanti, adalah kelompok imigran ini yang merupakan inti jaringan ulama internasional di Haramayn.
Tipe ketiga adalah ulama dan murid pengembara, yang menetap di Makkah dan Madinah dalama perjalanan panjang mereka menuntut ilmu. Mereka umumnya datang ke Haramayn untuk menunaikan haji dan sekaligus meningkatkan ilmu. Biasanya mereka memperpanjang masa mukim mereka di Tanah Suci, dan pada umumnya belajar dengan sejumlah guru yang berbeda. Ketika merasa bahwa mereka telah mempunyai ilmu yang memadai dan telah memperoleh otorisasi untuk mengajar (ijazah) dari guru-guru mereka, mereka kemudian kembali ke negeri asal masing-masing, yang biasanya terletak di pinggiran Dunia Muslim. Mereka ini membawa ilmu, gagasan, dan metode yang dipelajari di Haramayn. Dengan begitu mereka menjadi transmiter utama tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan di Timur-Tengah ke berbagai bagian Dunia Muslim.[3]

A.       Komunitas Jawi di Haramayn
Hubungan antara kaum Muslimin di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. HAMKA memberi penjelasan bahwa Islam masuk ke negeri-negeri Melayu, termasuk Indonesia, sejak abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 M. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Anak Benua India yang mendatangi Kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
Orang-orang Arab sendiri, yang terkenal sebagai para pedagang, sudah lama mengenal negeri-negeri Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Muangthai (Thailand), dan wilayah-wilayah sekitarnya. Mereka mengenal negeri-negeri tersebut sebagai wilayah-wilayah yang kaya akan rempah-rempah.[4]
Semenjak abad ke-17, hubungan di antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah semakin hangat khususnya yang bersifat keagamaan dan keilmuan,[5] meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya dengan Dinasti Utsmani. Jika hubungan keagamaan dan keilmuan ini dalam masa belakangan mendorong munculnya semacam kesadaran politik, khususnya vis-a-vis imperialisme Eropa, itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya kesadaran tentang identitas Islam.
Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia (Hindia Belanda) menunaikan ibadah haji ke Makkah.[6] Bahkan pada awal-awal abad ke-20, kaum Muslimin yang menunaikan haji menjadi kontingen terbesar di Makkah dan Madinah. Perlu diketahui, kaum Muslimin yang berhaji pada waktu itu tidak semata-mata didorong untuk menunaikan rukun Islam yang kelima saja, tetapi juga dalam rangka menuntut ilmu di Haramayn. Oleh karena itu tidak lah mengherankan setelah selesainya kegiatan ibadah haji, hanya separuh lebih dari jama’ah yang langsung kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan pengalaman Snock H di kota Mekkah. Ternyata telah ada suatu komunitas para santri dan guru yang berasal dari Nusantara. Hal ini sesuai dengan tulisan-tulisan Al-Qusasy yang telah memanggil beberapa Muridnya yang berasal dari Timur Jauh dengan sebutan Ashab Al-Jawyyin (saudara-saudara kita dari Jawa, yang bermakna saudara-saudara kita dari Nusantara).[7]
Berdasarkan pemberitaan Snock H, setidaknya telah ada beberapa Murid atau Santri dari Jawa yang telah menjadi guru sental di Makkah seperti: Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Fadany dan lain-lain.
Seperti yang telah dijelaskan Snouck H dalam suratnya orang-orang Jawi, dalam hal ini adalah orang-orang dari Nusantara, di Makkah dikenal sebagai orang-orang yang saleh, meskipun di antara mereka ada yang tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam.[8] Mereka pada umumnya pergi haji semata-mata untuk tujuan yang suci, yakni beribadah.
Orang-orang Jawi di Makkah juga dikenal sebagai orang-orang jujur dan ikhlas.[9] Maka tidaklah mengherankan banyak para pedagang Arab yang bergitu sangat mempercayai orang-orang Jawi tersebut ketika mereka meminjam barang yang bahkan komunitas lain tidaklah semudah orang-orang Jawi tersebut.
Tidak hanya itu, orang-orang Jawi juga dikenal sebagai orang giat dalam menuntut ilmu, hal ini dapat terlihat dengan kian banyaknya para santri yang pergi menuntut ilmu ke Makkah dan juga dengan kian banyaknya ulama Jawi yang makin terkenal baik secara kesalehan maupun kadar keintelektualannya. Setiap tahun di antara mereka yang melakukan perjalanan ke Mekkah,[10] terdapat sejumlah pemuda yang menetap lama di kota suci itu untuk menuntut ilmu pengetahuan Islam di bawah pimpinan guru-guru bangsa Arab yang kenamaan. Banyak di antara pelajar-pelajar itu kemudian pulang ke tanah air sebagai ahli kitab dan mereka ganti bertindak sebagai guru; dan madrasah-madrasah mereka merupakan pusat penyebaran pengaruh pelajaran hukum Islam dalam keseluruhan ke dalam bidang pendidikan dikalangan yang lebih luas.[11]
Berdasar dari pergi haji dan menuntut ilmunya, akhirnya banyak dari mereka yang menetap di Haramayn. Hal ini sangatlah beralasan mengingat Haramayn merupakan pusat keagamaan dan keilmuan Islam pada masa tersebut dan juga dengan banyaknya hadits yang menyebutkan keistimewaan Haramayn.

B.       Karakteristik Jaringan Ulama
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, inti dari jaringan ulama adalah lingkaran ulama yang populer sehingga menjadi titik sentral bagi ajang  para ulama lain baik itu ulama Haramayn itu sendiri maupun ulama-ulama dari wilayah lain untuk berinteraksi secara akademisi.
Sebelum keberperanan Syeikh Yasin al-Fadani, telah banyak ulama-ulama yang berdarah Indonesia yang telah menjadi titik fokus bagi perhelatan jaringan ulama di Haramayn. Sebut saja seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan masih banyak lagi. Para ulama ini tidak saja terkenal di kalangan koloni Jawa sendiri, namun juga memiliki tempat yang sejajar dengan para ulama yang menjadi guru besar di Masjid al-Haram. Para ulama ini pun lambat laun mulai diakui secara internasional, lebih-lebih setelah tersebarnya sebagian besar karangan mereka seperti yang dialami Syeikh Nawawi.[12]
Pola hubungan mereka dalam jaringan ini pun, seperti yang telah jelaskan Azra dalam Jaringan Ulama, pada abad ke-19 masih kepada pola hubungan guru-murid. Memang pola hubugan guru-murid tersebut sangat menghubungankan hubungan antara guru dengan murid atau murid dengan guru tersebut lebih mendalam.
Selain itu ijazah dari seorang ulama juga merupakan sesuatu yang ikut mempengaruhi intensitas ketinggian seorang ulama, seperti halnya Isnad dalam ilmu hadits, ijazah tersebut merupakan suatu pengakuan hubungan murid oleh guru yang terus menghubungkan hubungan murid tersebut terus sampai pada hubungan terakhir.
Pengaruh haji pada jaringan ini pun sangat besar terutama ketika terjadi haji akbar karena bisa dikatakan haji merupakan ajang pertemuan tahunan yang terbesar. Bahkan tidak jarang banyak ulama Makkah yang menyediakan tempat untuk para ulama dari tempat lain pada waktu haji hanya karena ingin mendapatkan suatu disiplin ilmu tertentu atau hanya ingin agar mendapatkan sanad ataupun ijazah pengakuan ulama lain.
Begitu juga dengan ulama-ulama yang sedang melaksanakan haji, mereka tidak akan menyia-yiakan even pertemuan akbar tahunan tersebut. Banyak dari mereka yang berusaha untuk menemui para ulama karismatik Makkah untuk mendapatkan tambahan ilmu keIslaman, pengakuan sebagai murid ataupun sekedar hanya mendapatkan “berkah” dari ulama karismatik tersebut.
Sejak dikuasainya Haramayn oleh Dinasti Su’udiyah yang mendasarkan dasar pemerintahannya pada mazhab Wahabi, kekuatan dalam jaringan ulama satu persatu semakin rapuh. Bahkan kehidupan Madrasah yang pada saat sebelumnya merupakan salah satu dasar dari jaringan ulama saat ini telah digantikan oleh sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh kerajaan yang karena ketatnya regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang akhirnya madrasah-madrasah yang beraliran Suni banyak yang harus gulung tikar seperti halnya yang dialami oleh madrasah-madrasah yang didirikan oleh ulama Indonesia (seperti yang dialamai oleh Madrasah Dar al-Ulum al-Diniyyah dan juga Madrasah Indonesia Islamiyah).[13]
Karena banyak madrasah dan juga halaqoh yang ditutup, banyak para santri yang pada akhirnya beralih ke Mesir ataupun Yaman, padahal Madrasah dan juga halaqoh merupakan wadah terbentuknya embrio calon ulama dalam jaringan ulama. Menurut sejarawan Khairuddin al-Zarkali, madrasah memiliki peran penting dalam kebangkitan pengajaran dan keilmuan di Haramayn, hal ini mengingat karena Haramayn bukan hanya tempat untuk melaksanakan haji semata, akan tetapi juga sebagai kancah tempat tertinggi dalam pembelajaran agama.
Selain madrasah-madrasah Suni yang terpaksa tutup, halaqoh-halaqoh di Masjid al-Haram pun juga satu persatu dengan paksa ditutup oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena banyak pengajaran yang telah diajarkan para ulama yang dianggap berbahaya bagi keutuhan pemerintahan Wahabi.[14]
Selain itu, pengetatan perizinan di al-Masjid al-Haram juga menimbulkan korban di kalangan ulama Jawi. Dalam dekade 1970-an beberapa ulama Jawi, termasuk Syeik Yasin, mengajar di al-Masjid al-Haram. kini satu-satunya yang masih bertahan yang penulis ketahui yang memiliki halaqah dan mengajar di mesjid ini tinggal Syeikh Abd al-Karim al-Banjari.
Seperti apa yang telah dilakukan oleh Abdullah ibn Sulaiman ibn Munik, ulama wahabi dari Riyadh, ia merupakan salah satu penentang keras berbagai kegiatan apapun yang telah dilakukan oleh Sunni, ia juga selalu menyerang ulama Sunni dan juga menyerukan agar pemerintah Kerajaan untuk mengawasi dan menutup setiap kegiatan ulama Suni terutama halaqoh-halaqoh di sekitar Masjid al-Haram.
Kemunduran eksistensi madrasah-madrasah Suni dan juga halaqoh-halaqoh Masjid al-Haram jelas merupakan ikut bertanggung jawab terhadap kemunduran kegiatan keilmuan di Haramayn yang akhirnya ikut berimbas terhadap perkembangan jaringan ulama. Kini jumlah murid-murid Jawi sangat jauh berkurang dibandingkan masa-masa sebelumnya bahkan saat ini cenderung tenggelam di bawah jaringan keilmuan ulama-ulama Yaman.




[1] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, cet. 3, (Jakarta: kencana, 2007), h. 71.
[2] Ibid., h. 71-72.
[3] Ibid., h. 72-73.
[4] HAR. Gibb, Ibn Batuta’s Travels in Asia and Africa, (Broodway House, 1957), h. 367.
[5] Hurgronje, C. Snouck, Islam Di Hindia Belanda, cet ke-2, penerjemah: S. Gunawan, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), h. 13.
[6] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 3.
[7] Sebelum abad ke-20, Istilah “Jawi” mengacu kepada masyarakat kepulauan Nusantara ( atau masyarakat rumpun Melanesia/Melayu). Namun setelah merdeka dan terbentuknya negara-negara di Nusantara, istilah Jawi sudah mulai jarang digunakan tetapi sudah mengacu langsung ke negara.
[8] Hurgronje, C. Snouck., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V.
Lihat juga Dr. Karel A. SteenBrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), h. 246.
[9] Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam, h. 247.
[10] Menurut data jumlah jamaah haji tahun 1876-1886, tercatat 34.343 calon haji berangkat ke Mekkah, sedangkan yang kembali hanya 27.932 orang. Ini termasuk haji yang meniggal dan haji yang bermukim langsung di Mekkah. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam, h. 252.
[11] Hugronje, Islam Di Hindia Belanda, h. 28.
[12] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), h. 36.
[13] Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Menuju Masyarkat Madani, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 52-55.
[14] Ibid., h. 49-51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar