Semenjak membaiknya
kondisi sosial politik dan lingkungan di Haramayn, dalam kondisi abad ke-16
jumlah Muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia terus semakin mengalami
kemajuan. Tetapi, jelas tidak semua mereka yang datang ke Tanah Suci merupakan
ulama atau penuntut ilmu. Kebanyakan mereka, pada kenyataannya adalah jamaah
haji biasa, yang ingin memenuhi kewajiban berhaji. Mereka ini biasanya kembali
ke negeri asal mereka setelah melaksanakan ibadah haji di Makkah dan
mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Nabi di Madinah.
Namun demikian,
terdapat sejumlah Muslim yang datang ke Haramayn tidak hanya untuk menunaikan
haji, tetapi juga guna memenuhi tujuan-tujuan lain seperti memperoleh ilmu atau
mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci. Sebagian bahkan datang untuk
berdagang. Mereka ini berpindah, apakah pemanen atau sementara, ke wilayah
Tanah Suci. Mengutip pendapat Voll dalam Jaringan Ulamanya Azra tentang
pembagian imigran Asia Selatan di Haramayn dalam abad ke-17 dan ke-18,
menurutnya ada tiga model atau kategori mengenai para pendatang atau imigran
dan tujuan mereka.[1]
Tipe pertama adalah
mereka yang disebut Voll sebagai little imigrants; yakni, orang-orang
yang datang dan bermukim di Haramayn, dengan diam-diam terserap dalam kehidupan
sosial keagamaan setempat. Dapat dengan aman diasumsikan, imigran jenis ini
mulanya datang untuk menunaikan haji, tetapi belakangan – apakah karena ingin
melayani tempat-tempat suci atau karena tidak punya biaya pulang – memutuskan
menetap di Haramayn. Mereka ini hidup sebagai penduduk biasa, dan tidak harus
merupakan ulama. Kebanyakan mereka biasanya tidak terekam dalam kamus biografi.
Tetapi terdapat sejumlah pengecualian, seperti Sa’id bin Yusuf al-Hindi, seorang
farrasy, pembentang tikar di al-Masjid al-Nabawi, atau Rayhan al-Hindi
yang mengabdikan diri melayani tempat-tempat suci; dia mewakafkan hampir
seluruh hartanya untuk membangun sarana-sarana umum di Madinah. Tidak ada
indikasi bahwa mereka merupakan ulama yang memainkan peranan dalam jaringan
ulama.[2]
Tipe kedua adalah grand immigrants. Berbeda dengan
imigran jenis pertama, grand immigrants adalah ulama par excellence.
Kebanyakan imigran kategori ini telah mempunyai dasar yang baik dalam kehidupan
Islam. Sebagian mereka sangat ‘alim dan terkenal apakah di negara asal
mereka atau di pusat-pusat keilmuan lain. Karenanya, ketika sampai di Haramayn,
mereka telah qualified untuk ambil bagian dalam diskursus intelektual
kosmopolitan. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran aktif tidak hanya
dalam pengajaran, tetapi juga dalam menyodorkan gagasan-gagasan baru. Berkat
kealiman dan kesalehan mereka, grand immigrants mampu menarik penuntut
ilmu dari berbagai penjuru Dunia Muslim. Tidak sulit menemukan sebagian mereka
yang mampu mencapai keterkemukaan tidak hanya dalam diskursus religio-
intelektual, tetapi juga dalam kancah sosial-politik. Seperti kita lihat nanti,
adalah kelompok imigran ini yang merupakan inti jaringan ulama internasional di
Haramayn.
Tipe ketiga adalah
ulama dan murid pengembara, yang menetap di Makkah dan Madinah dalama
perjalanan panjang mereka menuntut ilmu. Mereka umumnya datang ke Haramayn
untuk menunaikan haji dan sekaligus meningkatkan ilmu. Biasanya mereka
memperpanjang masa mukim mereka di Tanah Suci, dan pada umumnya belajar dengan
sejumlah guru yang berbeda. Ketika merasa bahwa mereka telah mempunyai ilmu
yang memadai dan telah memperoleh otorisasi untuk mengajar (ijazah) dari
guru-guru mereka, mereka kemudian kembali ke negeri asal masing-masing, yang
biasanya terletak di pinggiran Dunia Muslim. Mereka ini membawa ilmu, gagasan,
dan metode yang dipelajari di Haramayn. Dengan begitu mereka menjadi transmiter
utama tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan di Timur-Tengah ke berbagai bagian
Dunia Muslim.[3]
A. Komunitas
Jawi di Haramayn
Hubungan antara kaum
Muslimin di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak
masa-masa awal Islam. HAMKA memberi penjelasan bahwa Islam masuk ke
negeri-negeri Melayu, termasuk Indonesia, sejak abad pertama Hijriah atau
sekitar abad ke-7 M. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Anak Benua
India yang mendatangi Kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam
batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
Orang-orang Arab
sendiri, yang terkenal sebagai para pedagang, sudah lama mengenal negeri-negeri
Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Muangthai (Thailand), dan
wilayah-wilayah sekitarnya. Mereka mengenal negeri-negeri tersebut sebagai
wilayah-wilayah yang kaya akan rempah-rempah.[4]
Semenjak abad ke-17,
hubungan di antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah semakin hangat
khususnya yang bersifat keagamaan dan keilmuan,[5]
meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara,
misalnya dengan Dinasti Utsmani. Jika hubungan keagamaan dan keilmuan ini dalam
masa belakangan mendorong munculnya semacam kesadaran politik, khususnya vis-a-vis
imperialisme Eropa, itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya kesadaran
tentang “identitas Islam”.
Sejak dibukanya terusan
Suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia (Hindia
Belanda) menunaikan ibadah haji ke Makkah.[6]
Bahkan pada awal-awal abad ke-20, kaum Muslimin yang menunaikan haji menjadi
kontingen terbesar di Makkah dan Madinah. Perlu diketahui, kaum Muslimin yang
berhaji pada waktu itu tidak semata-mata didorong untuk menunaikan rukun Islam
yang kelima saja, tetapi juga dalam rangka menuntut ilmu di Haramayn. Oleh
karena itu tidak lah mengherankan setelah selesainya kegiatan ibadah haji,
hanya separuh lebih dari jama’ah yang langsung kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan pengalaman
Snock H di kota Mekkah. Ternyata telah ada suatu komunitas para santri dan guru
yang berasal dari Nusantara. Hal ini sesuai dengan tulisan-tulisan Al-Qusasy
yang telah memanggil beberapa Muridnya yang berasal dari Timur Jauh dengan
sebutan Ashab Al-Jawyyin (saudara-saudara
kita dari Jawa, yang bermakna saudara-saudara kita dari Nusantara).[7]
Berdasarkan pemberitaan
Snock H, setidaknya telah ada beberapa Murid atau Santri dari Jawa yang telah menjadi guru sental di
Makkah seperti: Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Fadany dan
lain-lain.
Seperti yang telah
dijelaskan Snouck H dalam suratnya orang-orang Jawi, dalam hal ini adalah
orang-orang dari Nusantara, di Makkah dikenal sebagai orang-orang yang saleh,
meskipun di antara mereka ada yang tidak memiliki pengetahuan agama yang
mendalam.[8]
Mereka pada umumnya pergi haji semata-mata untuk tujuan yang suci, yakni
beribadah.
Orang-orang Jawi di Makkah
juga dikenal sebagai orang-orang jujur dan ikhlas.[9]
Maka tidaklah mengherankan banyak para pedagang Arab yang bergitu sangat
mempercayai orang-orang Jawi tersebut ketika mereka meminjam barang yang bahkan
komunitas lain tidaklah semudah orang-orang Jawi tersebut.
Tidak hanya itu,
orang-orang Jawi juga dikenal sebagai orang giat dalam menuntut ilmu, hal ini
dapat terlihat dengan kian banyaknya para santri yang pergi menuntut ilmu ke
Makkah dan juga dengan kian banyaknya ulama Jawi yang makin terkenal baik
secara kesalehan maupun kadar keintelektualannya. Setiap tahun di antara mereka
yang melakukan perjalanan ke Mekkah,[10]
terdapat sejumlah pemuda yang menetap lama di kota suci itu untuk menuntut ilmu
pengetahuan Islam di bawah pimpinan guru-guru bangsa Arab yang kenamaan. Banyak
di antara pelajar-pelajar itu kemudian pulang ke tanah air sebagai ahli kitab
dan mereka ganti bertindak sebagai guru; dan madrasah-madrasah mereka merupakan
pusat penyebaran pengaruh pelajaran hukum Islam dalam keseluruhan ke dalam
bidang pendidikan dikalangan yang lebih luas.[11]
Berdasar dari pergi
haji dan menuntut ilmunya, akhirnya banyak dari mereka yang menetap di
Haramayn. Hal ini sangatlah beralasan mengingat Haramayn merupakan pusat
keagamaan dan keilmuan Islam pada masa tersebut dan juga dengan banyaknya
hadits yang menyebutkan keistimewaan Haramayn.
B. Karakteristik
Jaringan Ulama
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, inti dari jaringan ulama adalah lingkaran ulama yang
populer sehingga menjadi titik sentral bagi ajang para ulama lain baik itu ulama Haramayn itu
sendiri maupun ulama-ulama dari wilayah lain untuk berinteraksi secara
akademisi.
Sebelum keberperanan
Syeikh Yasin al-Fadani, telah banyak ulama-ulama yang berdarah Indonesia yang
telah menjadi titik fokus bagi perhelatan jaringan ulama di Haramayn. Sebut saja
seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Ahmad
Khatib Sambas, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan masih banyak lagi. Para
ulama ini tidak saja terkenal di kalangan koloni Jawa sendiri, namun juga
memiliki tempat yang sejajar dengan para ulama yang menjadi guru besar di
Masjid al-Haram. Para ulama ini pun lambat laun mulai diakui secara
internasional, lebih-lebih setelah tersebarnya sebagian besar karangan mereka
seperti yang dialami Syeikh Nawawi.[12]
Pola hubungan mereka
dalam jaringan ini pun, seperti yang telah jelaskan Azra dalam Jaringan
Ulama, pada abad ke-19 masih kepada pola hubungan guru-murid. Memang pola
hubugan guru-murid tersebut sangat menghubungankan hubungan antara guru dengan
murid atau murid dengan guru tersebut lebih mendalam.
Selain itu ijazah dari
seorang ulama juga merupakan sesuatu yang ikut mempengaruhi intensitas
ketinggian seorang ulama, seperti halnya Isnad dalam ilmu hadits, ijazah
tersebut merupakan suatu pengakuan hubungan murid oleh guru yang terus
menghubungkan hubungan murid tersebut terus sampai pada hubungan terakhir.
Pengaruh haji pada
jaringan ini pun sangat besar terutama ketika terjadi haji akbar karena bisa
dikatakan haji merupakan ajang pertemuan tahunan yang terbesar. Bahkan tidak
jarang banyak ulama Makkah yang menyediakan tempat untuk para ulama dari tempat
lain pada waktu haji hanya karena ingin mendapatkan suatu disiplin ilmu
tertentu atau hanya ingin agar mendapatkan sanad ataupun ijazah pengakuan ulama
lain.
Begitu juga dengan
ulama-ulama yang sedang melaksanakan haji, mereka tidak akan menyia-yiakan even
pertemuan akbar tahunan tersebut. Banyak dari mereka yang berusaha untuk
menemui para ulama karismatik Makkah untuk mendapatkan tambahan ilmu keIslaman,
pengakuan sebagai murid ataupun sekedar hanya mendapatkan “berkah” dari ulama
karismatik tersebut.
Sejak dikuasainya
Haramayn oleh Dinasti Su’udiyah yang mendasarkan dasar pemerintahannya pada
mazhab Wahabi, kekuatan dalam jaringan ulama satu persatu semakin rapuh. Bahkan
kehidupan Madrasah yang pada saat sebelumnya merupakan salah satu dasar dari
jaringan ulama saat ini telah digantikan oleh sekolah-sekolah negeri yang
dibiayai oleh kerajaan yang karena ketatnya regulasi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, yang akhirnya madrasah-madrasah yang beraliran Suni banyak yang
harus gulung tikar seperti halnya yang dialami oleh madrasah-madrasah yang
didirikan oleh ulama Indonesia (seperti yang dialamai oleh Madrasah Dar al-Ulum
al-Diniyyah dan juga Madrasah Indonesia Islamiyah).[13]
Karena banyak madrasah
dan juga halaqoh yang ditutup, banyak para santri yang pada akhirnya
beralih ke Mesir ataupun Yaman, padahal Madrasah dan juga halaqoh merupakan
wadah terbentuknya embrio calon ulama dalam jaringan ulama. Menurut sejarawan
Khairuddin al-Zarkali, madrasah memiliki peran penting dalam kebangkitan
pengajaran dan keilmuan di Haramayn, hal ini mengingat karena Haramayn bukan
hanya tempat untuk melaksanakan haji semata, akan tetapi juga sebagai kancah tempat
tertinggi dalam pembelajaran agama.
Selain
madrasah-madrasah Suni yang terpaksa tutup, halaqoh-halaqoh di Masjid
al-Haram pun juga satu persatu dengan paksa ditutup oleh pemerintah. Hal ini
disebabkan karena banyak pengajaran yang telah diajarkan para ulama yang
dianggap berbahaya bagi keutuhan pemerintahan Wahabi.[14]
Selain itu, pengetatan
perizinan di al-Masjid al-Haram juga menimbulkan korban di kalangan ulama Jawi.
Dalam dekade 1970-an beberapa ulama Jawi, termasuk Syeik Yasin, mengajar di
al-Masjid al-Haram. kini satu-satunya yang masih bertahan yang penulis ketahui
yang memiliki halaqah dan mengajar di mesjid ini tinggal Syeikh Abd
al-Karim al-Banjari.
Seperti apa yang telah
dilakukan oleh Abdullah ibn Sulaiman ibn Munik, ulama wahabi dari Riyadh, ia
merupakan salah satu penentang keras berbagai kegiatan apapun yang telah
dilakukan oleh Sunni, ia juga selalu menyerang ulama Sunni dan juga menyerukan
agar pemerintah Kerajaan untuk mengawasi dan menutup setiap kegiatan ulama Suni
terutama halaqoh-halaqoh di sekitar Masjid al-Haram.
Kemunduran eksistensi madrasah-madrasah
Suni dan juga halaqoh-halaqoh Masjid al-Haram jelas merupakan ikut bertanggung
jawab terhadap kemunduran kegiatan keilmuan di Haramayn yang akhirnya ikut
berimbas terhadap perkembangan jaringan ulama. Kini jumlah murid-murid Jawi
sangat jauh berkurang dibandingkan masa-masa sebelumnya bahkan saat ini
cenderung tenggelam di bawah jaringan keilmuan ulama-ulama Yaman.
[1] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, cet. 3,
(Jakarta: kencana, 2007), h. 71.
[2] Ibid., h. 71-72.
[3] Ibid., h. 72-73.
[4] HAR. Gibb, Ibn Batuta’s
Travels in Asia and Africa, (Broodway House, 1957), h. 367.
[5] Hurgronje, C. Snouck, Islam
Di Hindia Belanda, cet ke-2, penerjemah: S. Gunawan, (Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1983), h. 13.
[6] H. Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 3.
[7] Sebelum abad ke-20, Istilah
“Jawi” mengacu kepada masyarakat kepulauan Nusantara ( atau masyarakat rumpun
Melanesia/Melayu). Namun setelah merdeka dan terbentuknya negara-negara di
Nusantara, istilah Jawi sudah mulai jarang digunakan tetapi sudah mengacu
langsung ke negara.
[8]
Hurgronje, C. Snouck., Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje V.
Lihat juga Dr. Karel A. SteenBrink, Beberapa
Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1984), h. 246.
[9] Steenbrink, Beberapa Aspek
Tentang Islam, h. 247.
[10] Menurut data jumlah jamaah haji
tahun 1876-1886, tercatat 34.343 calon haji berangkat ke Mekkah, sedangkan yang
kembali hanya 27.932 orang. Ini termasuk haji yang meniggal dan haji yang
bermukim langsung di Mekkah. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam,
h. 252.
[11] Hugronje, Islam Di Hindia
Belanda, h. 28.
[12] Samsul Munir Amin, Sayyid
Ulama Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2011), h. 36.
[13] Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Menuju
Masyarkat Madani, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 52-55.
[14] Ibid., h. 49-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar