Secara geografis, Hijaz
terletak di wilayah Arabia bagian barat pantai timur Laut Merah, yang di bagian
utara dibatasi oleh Palestina, timur oleh Najd, dan selatan oleh Yaman.
Hijaz merupakan sebuah
wilayah Pantai Laut Merah dari kepulauan
Arabia yang memanjang dari Makkah sebelah selatan sampai Yenbo, dan memanjang
sampai ke wilayah Madinah. Kota-kota yang tercakup dalam wilayah Hijaz antara
lain Makkah, Madinah, Jeddah, Thaif, dan Yenbo[1].
Berdasarkan bentuk
permukaan tanahnya, Hijaz dapat di bagi atas tiga bagian: dataran rendah,
daerah berbukit-bukit, dan tebing yang curam. Bagian barat merupakan dataran
rendah yang disebut Tihama. Di bagian pedalaman terdapat daerah gurun. Di
bagian selatan terdapat Gurun Rub al-Khali,
sedang di bagian utara terdapat gurun an-Nafud; gurun Dahna
menghubungkan kedua gurun ini. Sebagian besar Hijaz ditutupi bukit-bukit pasir
aktif, yang dapat bergerak sesuai dengan tiupan angin.
Hijaz beriklim panas, dan
seperti Negara-negara lain di semenanjung Arabia, udaranya sangat kering.
Di wilayah ini hampir
tidak ada sungai yang berarti, yang mengalir terus-menerus. Yang ada hanyalah
Wadi, lembah sungai kering, yang berair hanya kalau turun hujan. Jika hujan
turun, air terkumpul di wadi dan adakalanya terjadi aliran di bawah permukaan
tanah, walau permukaan tanah itu sendiri kering.
Di sepanjang pantai, suhu
udara tidak terlampau ekstrem, Cuma kelengasan udara tersebut cukup tinggi dan
kurang menyenangkan. Di Jeddah misalnya, suhu musim panas jarang mencapai lebih
dari 38°C.
Tetapi kelengasan udara acap kali melebihi 90 persen. Pada musim dingin
faktor-faktor kontinental menyebabkan suhu udara di bagian utara dan tengah
kadang-kadang turun sampai titik beku.
B.
Sejarah singkat
Hijaz pada masa pemerintahan Turki Utsmani
Sebagian besar wilayah
yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia adalah bagian dari
Imperium Utsmaniah atau Khilafah Utsmaniah. Turki Utsmani menjadi penguasa di
wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk
terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari Turki Utsmani pada
tahun 1517 M. Ini menandai kekuasaan Sultan Utsmaniyah di wilayah Hijaz.
Kemudian, pada 1534 Turki Utsmani menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai
daerah Timur Jazirah Arabia. Namun pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil
mengusir Turki Utsmani dan baru dua abad kemudian Turki Utsmani kembali
mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan tetapi, wilayah pedalaman
Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai. Najd tetap
dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di
Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah
itu Turki Khalifah, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah
Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa
dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma
dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Pada tahun 1744, terjadi
kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud yang dimulai lewat upacara sumpah
yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi
imam dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn
Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn
Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang
malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot.
Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi
penguasa Sa`udi Arabia.
Pada tahun 1802, putra
tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala, tempat
paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali
bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak
mendapatkan rampasan perang, seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi
pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang
berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga
kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab
lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam
karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada tahun 1803-1804,
pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan
orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal
dan indah, yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia
Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam
Nabi, dan Masjidil Haram, dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke
tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa
makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala
bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen,
2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah
kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus,
wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah.
Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka
membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan
oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan
putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Kemajuan yang diperoleh
gerakan Wahabi membuat cemas kerajaan Turki yang saat itu berkuasa, ini
disebabkan beberapa daerah-daerah Turki sudah takluk kepada gerakan Wahabi.
Sultan Mahmus II memerintahkan Khedewi Muhammad Ali Pasya di Mesir untuk
mematahkan gerakan tersebut[2]. Juga Sultan memrintahkan
para ulama-ulamanya untuk menulis buku-buku sebagai propoganda unutk
menjelek-jelekkan pembawa ajaran Wahabi yang apabila masyarakat mendengar nama
Wahabi maka mereka akan menjadi benci dan takut Setelah gagal di tahun 1811,
pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki
Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah,
dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang
penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan
infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak
untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir
pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut
Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud
di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan
semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring
mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan
dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari
keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh
mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave,
menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.
Abdullah ibn Sa`ud sendiri
beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian
ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak
keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya
dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa
keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Pada tahun 1916 M, Syarif
Husain ibn ‘Ali melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Turki Utsmani. Makkah
jatuh dengan cepat ketangannya. Akan tetapi, Madinah, dengan garnisun dari
pasukan reguler Utsmaniyah di bawah komando Fakhri Pasha yang tidak disangsikan
lagi bertahan melawan kekuatan Syarif sampai pada Januari 1919 M. Dengan
berakhirnya peperangan tersebut.
Kejayaan dinasti
Husainnain tidaklah berlangsung lama. Pada bulan Desember 1925 M, Ibn Sa’ud
dengan mudahnya memasukan Hijaz kedalam wilayahnya tanpa banyak mengalami
kesulitan.
C.
Pengaruh
Hijaz terhadap Turki Utsmani dan sebaliknya
Memang sampai terbunuhnya
Usman pada tahun 656 M (35 H), Madinah tetap menjadi pusat pemerintahan.
Karena potensi Hijaz yang serba terbatas,
hampir di segala segi, tak mengherankan jika semakin berkembangnya pemerintahan
dan wilayah politik penguasa–penguasa muslim kemudian telah mendorong
berpindahnya pusat pemerintahan ke propinsi–propinsi yang lebih potensial. Namun
hal ini tidak menghilangkan sama sekali arti politik Hijaz seperti dapat
dilihat dari pentingnya penyebutan nama penguasa muslim, khalifah atau sultan
dalam kutbah Jum'at di Haramayn.
Selain itu, dengan
dikuasainya Hijaz, telah mengukuhkan Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai
kekhalifahan yang syah sebagai khilafah pelindung dua kota suci
D.
Hubungan
Antara Hijaz dengan Asia Tenggara
Hubunga antara Timur
Tengah dengan Asia Tenggara telah terjalin cukup lama khususnya dalam bidang
perdagangan. Namun, setelah Islam mulai disebarkan oleh Nabi Muhammad, seni
perdagangan pun diwarnai oleh corak dakwah para pedagang muslim dari Timur
Tengah.
Sejak masa Sriwijaya para
pedaganng dan pengembara muslim dari Timur Tengahtelah mengunjungi kota-kota
pelabuhan di Nusantara. Meskipun para pedagang muslim sibuk dalam kegiatan
perdagangan, mereka sedikit banyak juga terlibat dalam usaha mengenalkan Islam
kepada penduduk yang mereka temui[3].
Dalam bidang diplomatik
politik, hubungan antara kesultanan Nusantara dan kekuasaan politik Timur
Tengah terlihat jelas, misalnya, dalam hubungan antara kesultanan Aceh dan
kerajaan Ustmani. Sejak masa Sultan Alaudin Riayat Syah (943 H/1538 M – 979
H/1571 M) Aceh mengirimkan utusannya ke Istanbul, selain untuk mengakui sultan
Utssmani sebagai khalifah kaum muslim, juga untukmeminta bantuan militer guna
menghadapi Portugis yang telah menduduki Pasai, dan bahkan mejarah kapal-kapal
dagang Aceh di Samudra Hindia. Hubungan diplomatik politik juga dijalin oleh
Kesultanan Mataram dan Kesultanan Banten dengan penguasa (syarif) Makkah untuk
mendapatkan gelar "khalifah"[4].
Adapun dalam hubungan
intelektual-keagamaan bermula lebih awal lagi, tepatnya dimulai dengan
kedatangan guru-guru pengembara dari berbagai tempat di Timur Tengah terutama
sejak akhir abad ke-13. para guru penembara yang umumnya bergelar
"syekh" dan mempunyai karakteristik guru-guru sufi tersebut mempunyai
peran yang sangat instrumental dalam memperkenalkan Islam kepada para penguasa
di Nusantara. Hasilnya adalah banyak penguasa memluk Islam, seperti terlihat
jelas dalam kasus Merah Silu (Merah Sile), penguasa Pasai yang masuk Islam
dsetelah didatangi oleh Syekh Ismail (seorang utusan syarif dari Makkah) dari
Jeddah[5].
Seperti dugaan, sebagian
besar orang muslim Asia Tenggara datang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah
haji. Namun terdapat pula mereka yang sengaja datang ke Makkah dan Madinah
untuk menuntut ilmu, yang pada gilirannya membuat mereka harus bermukin disana,
baik selama masa menuntut ilmu saja atau sementara maupun secara permanen.
Kehadiran mereka ini selanjutnya mendapatkan sebutan ashab al-jawiyyin
(para saudara kita orang jawa) dari penduduk Makkah dan Madinah[6].
Istilah "jawi"
dan juga kemudian "Jawah" tentu saja secara literal mengacu kepada
orang Jawa atau mereka yang berasal dari Jawa. Namun makna yang tercakup dalam
istilah ini lebih dari itu; istilah ini digunakan untuk meyebut seluruh orang
muslim yang datang dari Nusantara atau Asia Tenggara tanpa memandang tempat
asal mereka di kawanan ini. Dengan kata lain, mereka semua-orang Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaka, Pattani (Thailand Selatan), dan Filipina Selatan-di Makkah
dan Madinah disebut "orang Jawa"[7].
REFERENSI
·
Cyrill Glase, Ensiklopedi
Islam Ringkas, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
·
Nasution, Dr. Harun, Pembaharuan
Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
·
Azra, Prof. Dr. Azyunardi, MA.,
Jaringan Ulama dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Vol. 5,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 2003.
·
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia seri Geogafi
(Asia), Jakarta: PT. Ichtiar baru – van Hoeve, 1990.
·
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia Vol. I, Jakarta:
PT. Ichtiar baru – van Hoeve, 1980.
·
Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992.
Keeeeeeerrrrrreeeeeennnnn
BalasHapus