Jumat, 19 Desember 2014

Hijaz Era Turki Utsmani


A.                Letak dan keadaan geografis
Secara geografis, Hijaz terletak di wilayah Arabia bagian barat pantai timur Laut Merah, yang di bagian utara dibatasi oleh Palestina, timur oleh Najd, dan selatan oleh Yaman.
Hijaz merupakan sebuah wilayah Pantai Laut Merah  dari kepulauan Arabia yang memanjang dari Makkah sebelah selatan sampai Yenbo, dan memanjang sampai ke wilayah Madinah. Kota-kota yang tercakup dalam wilayah Hijaz antara lain Makkah, Madinah, Jeddah, Thaif, dan Yenbo[1].

Berdasarkan bentuk permukaan tanahnya, Hijaz dapat di bagi atas tiga bagian: dataran rendah, daerah berbukit-bukit, dan tebing yang curam. Bagian barat merupakan dataran rendah yang disebut Tihama. Di bagian pedalaman terdapat daerah gurun. Di bagian selatan terdapat Gurun Rub al-Khali,  sedang di bagian utara terdapat gurun an-Nafud; gurun Dahna menghubungkan kedua gurun ini. Sebagian besar Hijaz ditutupi bukit-bukit pasir aktif, yang dapat bergerak sesuai dengan tiupan angin.
Hijaz beriklim panas, dan seperti Negara-negara lain di semenanjung Arabia, udaranya sangat kering.
Di wilayah ini hampir tidak ada sungai yang berarti, yang mengalir terus-menerus. Yang ada hanyalah Wadi, lembah sungai kering, yang berair hanya kalau turun hujan. Jika hujan turun, air terkumpul di wadi dan adakalanya terjadi aliran di bawah permukaan tanah, walau permukaan tanah itu sendiri kering.
Di sepanjang pantai, suhu udara tidak terlampau ekstrem, Cuma kelengasan udara tersebut cukup tinggi dan kurang menyenangkan. Di Jeddah misalnya, suhu musim panas jarang mencapai lebih dari 38°C. Tetapi kelengasan udara acap kali melebihi 90 persen. Pada musim dingin faktor-faktor kontinental menyebabkan suhu udara di bagian utara dan tengah kadang-kadang turun sampai titik beku.

B.                 Sejarah singkat Hijaz pada masa pemerintahan Turki Utsmani
Sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia adalah bagian dari Imperium Utsmaniah atau Khilafah Utsmaniah. Turki Utsmani menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari Turki Utsmani pada tahun 1517 M. Ini menandai kekuasaan Sultan Utsmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 Turki Utsmani menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Namun pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir Turki Utsmani dan baru dua abad kemudian Turki Utsmani kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu Turki Khalifah, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Pada tahun 1744, terjadi kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud yang dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia.
Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala, tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan rampasan perang, seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah, yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram, dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Kemajuan yang diperoleh gerakan Wahabi membuat cemas kerajaan Turki yang saat itu berkuasa, ini disebabkan beberapa daerah-daerah Turki sudah takluk kepada gerakan Wahabi. Sultan Mahmus II memerintahkan Khedewi Muhammad Ali Pasya di Mesir untuk mematahkan gerakan tersebut[2]. Juga Sultan memrintahkan para ulama-ulamanya untuk menulis buku-buku sebagai propoganda unutk menjelek-jelekkan pembawa ajaran Wahabi yang apabila masyarakat mendengar nama Wahabi maka mereka akan menjadi benci dan takut Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.
Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Pada tahun 1916 M, Syarif Husain ibn ‘Ali melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Turki Utsmani. Makkah jatuh dengan cepat ketangannya. Akan tetapi, Madinah, dengan garnisun dari pasukan reguler Utsmaniyah di bawah komando Fakhri Pasha yang tidak disangsikan lagi bertahan melawan kekuatan Syarif sampai pada Januari 1919 M. Dengan berakhirnya peperangan tersebut.
Kejayaan dinasti Husainnain tidaklah berlangsung lama. Pada bulan Desember 1925 M, Ibn Sa’ud dengan mudahnya memasukan Hijaz kedalam wilayahnya tanpa banyak mengalami kesulitan.

C.                 Pengaruh Hijaz terhadap Turki Utsmani dan sebaliknya
Memang sampai terbunuhnya Usman pada tahun 656 M (35 H), Madinah tetap menjadi pusat pemerintahan.
 Karena potensi Hijaz yang serba terbatas, hampir di segala segi, tak mengherankan jika semakin berkembangnya pemerintahan dan wilayah politik penguasa–penguasa muslim kemudian telah mendorong berpindahnya pusat pemerintahan ke propinsi–propinsi yang lebih potensial. Namun hal ini tidak menghilangkan sama sekali arti politik Hijaz seperti dapat dilihat dari pentingnya penyebutan nama penguasa muslim, khalifah atau sultan dalam kutbah Jum'at di Haramayn.
Selain itu, dengan dikuasainya Hijaz, telah mengukuhkan Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai kekhalifahan yang syah sebagai khilafah pelindung dua kota suci

D.                Hubungan Antara Hijaz dengan Asia Tenggara
Hubunga antara Timur Tengah dengan Asia Tenggara telah terjalin cukup lama khususnya dalam bidang perdagangan. Namun, setelah Islam mulai disebarkan oleh Nabi Muhammad, seni perdagangan pun diwarnai oleh corak dakwah para pedagang muslim dari Timur Tengah.
Sejak masa Sriwijaya para pedaganng dan pengembara muslim dari Timur Tengahtelah mengunjungi kota-kota pelabuhan di Nusantara. Meskipun para pedagang muslim sibuk dalam kegiatan perdagangan, mereka sedikit banyak juga terlibat dalam usaha mengenalkan Islam kepada penduduk yang mereka temui[3].
Dalam bidang diplomatik politik, hubungan antara kesultanan Nusantara dan kekuasaan politik Timur Tengah terlihat jelas, misalnya, dalam hubungan antara kesultanan Aceh dan kerajaan Ustmani. Sejak masa Sultan Alaudin Riayat Syah (943 H/1538 M – 979 H/1571 M) Aceh mengirimkan utusannya ke Istanbul, selain untuk mengakui sultan Utssmani sebagai khalifah kaum muslim, juga untukmeminta bantuan militer guna menghadapi Portugis yang telah menduduki Pasai, dan bahkan mejarah kapal-kapal dagang Aceh di Samudra Hindia. Hubungan diplomatik politik juga dijalin oleh Kesultanan Mataram dan Kesultanan Banten dengan penguasa (syarif) Makkah untuk mendapatkan gelar "khalifah"[4].
Adapun dalam hubungan intelektual-keagamaan bermula lebih awal lagi, tepatnya dimulai dengan kedatangan guru-guru pengembara dari berbagai tempat di Timur Tengah terutama sejak akhir abad ke-13. para guru penembara yang umumnya bergelar "syekh" dan mempunyai karakteristik guru-guru sufi tersebut mempunyai peran yang sangat instrumental dalam memperkenalkan Islam kepada para penguasa di Nusantara. Hasilnya adalah banyak penguasa memluk Islam, seperti terlihat jelas dalam kasus Merah Silu (Merah Sile), penguasa Pasai yang masuk Islam dsetelah didatangi oleh Syekh Ismail (seorang utusan syarif dari Makkah) dari Jeddah[5].
Seperti dugaan, sebagian besar orang muslim Asia Tenggara datang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun terdapat pula mereka yang sengaja datang ke Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu, yang pada gilirannya membuat mereka harus bermukin disana, baik selama masa menuntut ilmu saja atau sementara maupun secara permanen. Kehadiran mereka ini selanjutnya mendapatkan sebutan ashab al-jawiyyin (para saudara kita orang jawa) dari penduduk Makkah dan Madinah[6].
Istilah "jawi" dan juga kemudian "Jawah" tentu saja secara literal mengacu kepada orang Jawa atau mereka yang berasal dari Jawa. Namun makna yang tercakup dalam istilah ini lebih dari itu; istilah ini digunakan untuk meyebut seluruh orang muslim yang datang dari Nusantara atau Asia Tenggara tanpa memandang tempat asal mereka di kawanan ini. Dengan kata lain, mereka semua-orang Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaka, Pattani (Thailand Selatan), dan Filipina Selatan-di Makkah dan Madinah disebut "orang Jawa"[7].

REFERENSI
·         Cyrill Glase, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
·         Nasution, Dr. Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
·         Azra, Prof. Dr. Azyunardi, MA., Jaringan Ulama dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol. 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 2003.
·         Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia seri Geogafi (Asia), Jakarta: PT. Ichtiar baru – van Hoeve, 1990.
·         Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia Vol. I, Jakarta: PT. Ichtiar baru – van Hoeve, 1980.
·         Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.




                [1] Cyrill Glase, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 130.
                [2] Nasution, Dr. Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 25.
                [3] Azrz, Prof. Dr. Azyunardi, MA., Jaringan Ulama dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol. 5, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 2003), hlm. 109.
                [4] Ibid, hlm. 109.
                [5] Ibid, hlm. 109.
                [6] Ibid, hlm. 110.
                [7] Ibid, hlm. 110.

1 komentar: