Minggu, 03 Mei 2015

Hijab Dari Kacamata Ilmu Psikologi, Sosial, dan Agama

Ada yang mengatakan "biar hati dululah yang dihijab. Baru kemudian anggota tubuh dihijab", ada pula yang mengatakan "itu perintah agama, jadi wajib bagi setiap wanita". Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi dari ilmu keawaman (saya orang awam loh....!!!).


Pada dasarnya hijab atau menutupi bagian tubuh wanita kecuali muka (ada yang bilang mata, karena melihat budaya di Timur Tengah sana agar tidak kemasukan debu) merupakan anjuran agama (untuk kejelasan dalilnya, bisa ditanyakan ke para Yai atau Ustad yang anaknya tidak berhijab). Namun disatu sisi juga ada segi keuntungannya, baik itu dari ilmu psikologi, sosial, dan juga dari sisi agama itu sendiri.

Ditinjau dari ilmu psikologi, dengan berhijab akan menumbuhkan sifat malu (kalau sudah berhijab tapi tidak asa sifat malu, mengutip Bang Haji Roma, itu dinamakan memalukan!!!). Dengan sifat malu itu, maka dengan sendirinya (diharapkan) akan ada sifat untuk menjaga diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hijabnya.

Dari sisi sosial, dengan berhijab maka akan meninggikan strata sosial wanita yang memakainya. Loh kok bisa? , karena dengan hijab, para lelaki akan segan, yang dalam artian para lelaki akan lebih menghormati. Coba saja perhatikan, lebih nikmat diajak nakal mana, antara yang berhijab atau yang auratnya mubazir?.


Lalu bagaimana keuntungan dari agama?. Karena agama telah menganjurkan untuk menutupi aurat, maka sudah dipastikan akan ada ganjarannya. Ingat!, dengan berhijab, seorang wanita sudah dapat dikatakan menjalankan anjuran salah satu point agama. Selain itu, dengan berhijab seorang wanita akan mendapat point lebih keagamaan (entah itu disebut pahala, atau apalah namanya).

Lalu bagaimana dengan cerita “hijab style” dan “hijab syar’I” ?.

Bersambung…

1 komentar: